Memahami Lebih Dekat Gagasan Konvensi Politik Batetangnga

Ilustrasi

Oleh : Muhammad Hardin

Gagasan tentang konvensi politik sebenarnya bukan kali pertama kita dengar di kampung tercinta “Batetangnga”. Jauh sebelum itu, konsep tentang Konvensi Politik tersebut pernah di lontarkan oleh Prof. Dr. H. Husain Syam, M.TP, Rektor UNM (ketika itu masih menjabat sebagai Dekan Fakultas Teknik UNM) dalam sebuah “Seminar Ekonomi Desa” yang di selenggarakan oleh Kerukunan Keluarga Pelajar Mahasiswa Batetangnga (KKPMB) di gedung balai desa Batetangnga Tahun 2010 silam.

Pada kesempatan itu, diselah tanya jawab, dengan tegas beliau mengatakan bahwa karakter masyarakat Batetangnga itu unik, hubungan kekeluargaannya tinggi, serta masyarakatnya masih memiliki hubungan darah kekeluargaan satu-sama lain, dan ini tidak ada duanya di daerah lain.

Kekeluargaan ini akan lebih mudah mempersatukan dan mengatur dalam sebuah konvensi (kesepakatan) politik. Konvensi politik ini, kita bisa memenangkan 3 wakil untuk duduk di kursi DPRD Kabupaten dengan presentasi hitungan 25% gaji diberikan untuk pembangunan di Desa Batetangnga.

Kemudian Prof. Husain Syam, kembali menyinggung wacana ini secara singkat di hadapan ratusan masyarakat Batetangnga dalam “Dialog Publik” yang di selenggarakan KKPMB, di lapangan Sepak Bola, desa Batetangnga pada tahun 2017 kemarin. Tak hanya itu, Ka. Kandepag Majene, Dr. Adnan Nota M.A., juga menyinggung perlunya konvensi politik dalam upaya pembangunan di Desa Batetangnga. Bahkan, Bilau dengan blak-blakan mengusung dirinya sebagai calon perseta konvensi dan berkomitmen akan memberikan 70 % dari gajinya kalau nantinya menjadi anggota Dewan.

Lalu apa sebenarnya konvensi politik itu, Mungkin bagi sebagian orang, Istilah ini baru. namun sebenarnya, konsep tentang Konvensi politik telah berjalan hampir 182 tahun lamanya.

Konvensi politik di praktekkan pada politik Amerika dalam upaya melakukan rekrutmen calon pemimpin mereka dengan melibatkan partisipasi rakyatnya. Rakyat pada kondisi tersebut menjadi juri pada acara-acara konvensi, dengan melibatkan semua unsur golongan masyarakat. Kepemimpinan tidak ditentukan oleh hasil konspirasi elit partai tapi di suguhkan melalui mekanisme penjaringan kepemimpinan di keseluruh pelosok wilayah-wilayah di amerika.

Secara sederhana, dalam konteks Batetangnga, Konvensi Politik dapat dimaknai pertemuan sejumlah pemangku kepintingan (stakeholder) dan masyarakat dalam menjaring para figur calon wakil rakyat memalui beberapa tahapan. Seseorang calon yang berhasil memenangkan konvensi tersebut, berhak diusung dan dijagokan oleh seluruh masyarakat Batetangnga untuk bertarung dalam pemihan legislatif nantinya.

Menutut hemat penulis, wacana tentang konvensi politik ini sebagai inovasi atau terobosan politik yang konstruktif, dan sebagai jalan aternatif membangun kematangan demokrasi di desa Batetangnga dari prakek demokrasi sebelumnya, serta perlunya ditumbuhkan keyakinan bahwa metode konvensi ini paling tepat untuk menghadirkan calon pemimpin wakil rakyat yang berintegritas dan kompeten yang mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat Batetangnga.

Tidak hanya itu, ada beberapa point pertimbangan, kenapa konvensi politik bisa jadi pilihan aternatif tepat dalam menjawab tantangan dan kondisi sistem perpolitikan masyarakat Batetangnga dewasa ini. khusunya dalam menghadapi pemilihan legislatif, yaitu:

Pertama

Dalam konteks Batetangnga, Konvensi politik sabagai upaya mencari dan memberi kesempatan kandidat potensial ditengah krisis kepemimpinan legislator (wakil rakyat) dari desa Batetangnga. Hal ini sekaligus untuk mengurangi kandidat yang hanya mengandalkan uang, tampang doang atau garis keturunan keluarga, tanpa kompentensi dan integritas yang belum teruji. Perlu digaris bawahi bahwa, tugas legislatif tidaklah mudah seperti yang kita bayangkan.

Kedua

Sebagai upaya untuk membendung banyaknya caleg yang lahir. Berkaca pada pengalaman sebelumnya, pada setiap penghelatan pemeilihan legislatif di Batetangnga, jumlah caleg dari Batetatangnga pasti membludak jumlahnya. Jelas, banyaknya jumlah caleg memecah belah suara di Batetangnga. Selain itu, masyarakat akan jadi korban karena bingung mau memilih siapa, akhirnya terjebak sebagai tipe pemilih pramodialisme (sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya).

Ketiga

Meminimalisir ongkos politik setiap caleg. Menjadi rahasia umum, ongkos politik yang disiapakan bila sesoarang mencalonkan diri (caleg) tidaklah main-main, hitung-hitungan kasarnya untuk caleg DPRD I kisaran menimal 300 juta, sementara caleg DRPD II kisaran 150 juta. Bagaimana tidak, pileg selalu di warnai pertarungan Baliho yang memenuhi setiap sudut jalan, acara serimonial (Panggung-panggung inspriasi dirangkain acara karoeke electone), bagi-bagi baju kaos, sumbangan mendadak ke Masjid-masjid, pakir miskin dan belum biaya oprasional tim sukses, dan lain sebagainya. Maka jangan heran, jika caleg yang gagal banyak berpontesi stress lalu jadi gila.

Keempat

Posisi tawar dan hubungan emosional masyarakat Batetangnga antara caleg lebih kuat dibandingkan partai politik pengusung. Ini jelas karena dalam konvensi politik ini. Elit partai politik tidak begitu banyak berperannya. Ujung tombak dari semua kesuksesan, berada pada konsensus konvensi politik Batetangnga.

Kendati demikian, dari metode konvensi politik diatas, bukanlah tanpa kekurangan, apalagi hal itu di lakukan setangah hati. selain itu, juga akan riskan terhadap muatan praktik konspirasi kepentingan segentir orang. Olehnya itu, perlu keseriusan, konsistensi, dan profesionalisme yang dibingkai dalam semboyan nilai para leluhur “mammesa tan sisarak, pammase tang mappatu” untuk mewujudkan konvensi politik di Batetangnga.

Sebagai penutup tulisan ini, maksud dari tulisan ini hanya sebagai ruang belajar penulis dalam memberikan pandangan subjektif atas tantangan politik di desa Batetangnga, terlaksananya konvensi politik, itu kembali pada masyarakat Batetangnga. “Salamaki, pada samalamaki.” Wassallam!

Makassar, 4 Januari 2018

*Penulis merupakan Mahasiswa asal desa Batetangnga yang mengenyam pendidikan S2 Pascasarjana Universitas Negeri Makassar dalam bidang Ilmu Administrasi Publik.