Pernah lihat buku ini?, mohon info nah. Malam jum’at tepat pukul 21.20 Wita, pesan WhatsApp kubuka, beserta gambar buku, bertuliskan, Kuburan Puisi di Sudut Surau, Karya Nurdahlan Jirana.
Pesan WA tersebut dari Kepala Balai Litbang Agama Makassar (BLAM) , Bapak Dr. H. Saprillah, M.Si, akrab disapa Kak Pepy, beliau juga seorang penulis buku. Referensi buku puisi tersebut, sebenarnya dipesan oleh adik sahabat Kak Pepy, yang ada di Mangkoso.
Aku pun menyimak dengan saksama gambar buku yang dikirim, Nurdahlan Jirana, nama yang pernah terdengar, tapi entah dimana. Ingatanku tak cukup kuat mengingatnya.
Kalau tidak salah, pernah sekali kunikmati sajian puisi Almarhum, dilantunkan di acara kampus biru Unasman. Itu saat aku jadi mahasiswa, semester awal.
Aku memulai berselancar via WA, ku chat beberapa pegiat literasi. Empat nomor kontak tersambung diantaranya, kak Armin, Kak Ridwan, Kak Misma, dan Kak A. Idham, sampai akhirnya aku bisa menemukan nomor WhatsApp istri almarhum, Ibu Irmayanti.
Kak Armin, Kak Ridwan, dan Kak Misma pun meminta, agar kiranya buku itu berhasil kudapat, dicopykan pula buat mereka.
Yah, itu gampang yang penting aku harus berhasil dulu, menemukan buku tersebut.
Nomor WhatsApp dari ibu Irmayanti pun kudapat, langsung sigap aku chatingan.
Percakapan aku dengan ibu Irmayanti terasa hangat, serasa kami sudah kenal akrab. Saat kutanya bolehkah aku berkunjung, beliaupun dengan jelas mengirimkan alamat rumahnya.
Tepat hari jum’at 11 september 2020, wangi senja menyambut ku, aku tiba dikediaman beliau, pukul 16.30 Wita. Setelah dipersilahkan masuk, dan duduk. Ibu Irmayanti menyapaku. Di atas meja sudah ada map plastik berwarna kuning, ada lembaran-lembaran kertas, dan tiga buku karangan almarhum disajikan.
Dalam hati bahagia terasa, akhirnya buku ini berhasil kutemukan. Ibu Irmayanti begitu antusias bercerita jejak almarhum, kisah-kisah diceritakan dengan sesekali tetesan air mata, mengucur dari mata bening ibu Irmayanti.
Satu pertanyaan dari Ibu Irmayanti, dari mana mengenal almarhum dik? Aku pun menjelaskan kronologis, yang awalnya aku tahu sosok beliau dari orang di luar Polman. Karya-karya beliau pun baru kutemukan kali ini.
Ibu Irmayantipun bercerita, begitu menarik dari kisah dilantunkan penuh mimik ekspresif. Naluri keibuan membuncah, menuturkan kisah perjalanan almarhum, menulis dari tabloid, media ke media, menjadi guru di SMA Campalagian dan Ponpes. Hingga melahirkan banyak buah pemikiran, lewat goresan tangan bermuatan kritis, puisi-puisinyapun syarat nilai-nilai religi.
Yah, Nurdahlan Jirana, dilahirkan di Campalagian Polmas, pada tanggal 12 desember 1958, konon mulai aktif menulis sejak di bangku SMP . Setelah tamat SMA 1 di Polewali, Nurdahlan Jirana melanjutkan kuliah di Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) Yogyakarta.
Bimbingan khusus dalam bidang tulis-menulis ia dapatkan dari Sri Murtono (Pengarang Genderang Barata Yudha dan Chandra Kirana). Sedangkan masalah teater ia dibimbing oleh Moertri Purnomo (asal bengkel sastra) dan Sri Sadono (dari teater mandiri).
Selama di Yogyakarta ia dikenal sebagai penulis stylish budaya, cerpen, dan novel. Karya-karya almarhum tersebar dibeberapa media massa kala itu, antara lain : Sarinah, Asri Salam, Forum Pemuda, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Pedoman Rakyat, dan lainnya.
Naskah-naskah drama pun banyak dipentaskan, naskah tersebut diantaranya Arajang Areng Ji, Puisi Senandung Dzikir, Sang Veteran, Kerajaan Hati Taman Puteri, 99 Matahari, Primitif Abad Nuklir, Noveletnya yang berjudul Dra. Winarsih (Sarinah) dan Novel yang berjudul ” Kembalikan Cinta Ibu.
Diantara tujuh teater yang didirikan adalah Pammarica, YMYK, Dini, Semanca, Menara Lapeo, RBP, sedangkan group yang ke-7 merupakan binaan bersama dengan Emha Ainun Nadjib dan Alisyahbana. Nama group itu adalah teater Flamboyant.
Yah diantara beberapa kelompok kesenian yang beliau dirikan, ada dua nama yang biasa saya dengar yaitu Pammarica dan Flamboyant, wow ternyata almarhum adalah tokoh sejarah berdirinya kelompok kesenian ini. Aku baru mengetahuinya.
Sepanjang tahun 1997, Nurdahlan Jirana aktif menulis tentang sastra yang dirujuk-kan pada ayat-ayat Qur’an, dimuat tiap hari minggu pada koran Mimbar Karya, judulnya : Simbol-simbol Sastra dalam Gerak Jagat Raya.
Sejak tahun 1994, almarhum pernah aktif membina kesenian IAIN Alauddin Ujung Pandang, di samping aktif dalam Komite Sastra Dewan Kesenian Makassar (DKM), dan Komite Teater Dewan Kesenian Sulsel (DKSS).
Menurut penuturan Ibu Irmayanti tahun 2001,sampai akhir hayatnya mendirikan PENA NUR (Pesantren Alternatif An Nur) di Campalagian, dengan semboyan “Menggunting Generasi”.
PENA NUR ini sempat diteruskan, oleh salah satu santrinya, Rahmat Prayitno Rasyid, namun 2012 tutup, karena Rahmat pindah domisili di Sekka-sekka.
Aku pun kembali bertanya kepada Kak Pepy, kenal almarhum dimana ya? Kak Pepy yang awalnya memberikan saya tugas mencari buku karya Nurdahlan Jirana bertema Kuburan Puisi di Sudut Surau.
Kak Pepy membalas pesan WA ku, kalau beliau kenal dengan almarhum sejak semester 4 di IAIN, sering dulu lihat di UKM Seni, dan sempat ikut-ikut aktif.
Lanjut ibu Irmayanti menyampaikan, bahwa sebelum wafat, almarhum sempat menyelesaikan satu buah karya kumpulan puisi “Adzan untuk Mandarku”, kumpulan puisi ini, belum sempat diterbitkan, Suami tercinta berpulang ke Pangkuan Ilahi.
Ada amanah terbesit di hati untuk melanjutkan penerbitan buku almarhum, sebab dua buah cinta yang dititipkan, akan menjadi penerus beliau. Sempat merekam kutipan ibu Irmayanti ” Pohon akan selalu tumbuh dan berbuah jika akarnya menguat”.
Sarat muatan makna, dihempasan wangi senja membuat raga ini betah, tak kunjung ada niat beranjak pamit, sebab ada-ada saja tuturan ibu Irma memantik semangat.
Aku meneguk sari pengetahuan dari Ibu Irmayanti. Pola takdir mengantarkanku berjejak menelusuri kisah inspiratif, Nurdahlan Jirana.
Disela kornea mata basah, Ibu Irmayanti pun dengan bangga mengatakan, kesyukuran atas sepasang generasi yang diwariskan. Anak pertama bernama Indah Nur Auliya mahasiswa baru di STAIN Majene Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam.
Anak kedua bernama Muhammad Nur Ainun. Saat ini menjalani proses pendidikan, tingkatan kelas 3 Aliyah di Pesantren Syekh Hasan Al Yamani.
Anak kedua beliau beri nama Muhammad Nur Ainun. Diberikan sebab almarhum punya kedekatan emosional dengan Emha Ainun Nadjib, almarhum pernah sekamar dengan Emha saat kuliah di Jogja.
Beliaulah nanti yang akan meneruskan perjuangan bapaknya, sembari memperlihatkan foto dan video anak bungsunya Ainun, saat mengikuti kegiatan di Negeri Jiran Malaysia. Saat itu belum genap usia 16 tahun, putranya mewakili pesantren mengikuti ajang Islamic Global School Network di Universiti Sains Islam Malaysia tahun 2019.
Wow anak seusia Ainun kala itu sudah ikut even lintas negara, membanggakan tentu, apatah lagi Ainun dikenal fasih berbahasa Inggris.
Adzan magrib pun berkumandang, dua buku puisi diberikan padaku satu buat pesanan Kak Pepy, satu hadiah buatku, dan ada 4 lembar tulisan ibu Irmayanti, berjudul PEDAS (Perempuan dalam Sumpah). Isinya bercerita tentang awal mulanya benih rasa itu hadir.
Disudut kiri tepat dibawa foto gambar Nurdahlan Jirana, tulisan itu bertuliskan ungkapan almarhum .
“Aku tak pernah lahir dari seorang raja, karena akulah raja yang melahirkan diriku sendiri”.
Di lembaran kertas kecil pun sempat ku foto tulisan Nurdahlan Jirana. “Tak boleh lagi ada istilah kebetulan, yang harus dihayati adalah memahami takdir pertemuan ini, dan mengisinya dengan cinta. Mantap untuk bersatu dalam menjalani hidup ini”.
Aku pun pamit setelah melewatkan gema azan. Ibu Irmayanti meminta maaf karena tidak sempat menyuguhkan minuman, aku menjawabnya” Seduhan cerita ibu sudah mengenyangkanku dan memberikan kesegaran hati”.
Alfatiha buat almarhum Nurdahlan Jirana, kekuatan akar tidak pernah lemah, dan akan menumbuh di pucuk-pucuk peradaban, dimana jejak-jejak sejarah itu bertuan tanpa kepalsuan. Semesta mendukung nilai-nilai juang tak lekang oleh waktu, engkau hidup dalam karya-karya, abadi di lapisan zaman.