Angka Kemiskinan Bukan Karena Rokok, Berikut Bantahannya

Angka Kemiskinan bukan karena rokok
Gambar Angka Kemiskinan bukan karena rokok

Apakah merokok dapat memicu angka kemiskinan di Indonesia ? mari kita ulas dengan logika sederhana, yang anak di level sekolah dasar pun tahu soal ini. 

Lagi-lagi, hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS) nasional, masih saja mengkambing hitamkan rokok (khususnya filter) sebagai salah satu pemicu angka kemiskinan di Indonesia.

Menurut BPS, rokok keretek filter mempengaruhi angka kemiskinan sebesar 12,22 persen di daerah perkotaan dan 11,36 persen di pedesaan. Dengan angka tersebut menjadi alasan pemerintah mengajak warga tuk berhenti merokok sebagai solusinya.

Penyelesaian seperti ini menurut saya tidak solutif. Jika pemerintah melarang warganya merokok karena harga rokok mahal, maka pemerintah pun akan melarang warganya mengkonsumsi beras.

Beras menurut data BPS, mempengaruhi angka kemiskinan sebesar 20,59 persen di perkotaan dan 25,97 persen di perdesaan. Nah, apakah pemerintah juga akan menerapkan kebijakan melarang warga konsumsi beras?     

Jika iya, maka pemerintah pun akan melarang warganya untuk menggunakan bensin, listrik, perlengkapan mandi serta pendidikan karena dari sekian kebutuhan tersebut menyumbangkan angka kemiskinan sebesar 26,34 persen.

Hasil survey ini menuai kritik dari beberapa pemerhati soal rokok, termasuk saya sendiri tentunya. Saya beranggapan, hasil survey dari lembaga Negara ini sangat tidak masuk akal, dan mengada-ada. Mengapa demikian ? karena BPS hanya terfokus pada rokok dan lain-lainnya, tanpa memerhatikan hal paling mendasar yang menyebabkan kemiskinan.  

Pemicu Angka Kemiskinan

Menurut saya, kemiskinan di Indonesia dipicu dua hal  yaitu, akses lapangan pekerjaan yang tidak terjangkau sehingga banyak yang tak memiliki penghasilan tetap, upah pekerja/Buruh di Indonesia sangatlah rendah, dan yang paling mendasar adalah kebijakan pemerintah itu sendiri. Jadi sebenarnya, kita di miskin-kan secara struktural.

Kurang tersedianya lapangan pekerjaan di Indonesia, mengakibatkan banyak warga Negara tidak mendapat lapangan pekerjaan, alias menganggur, sehingga jatuh miskin. Bagaimana mau hidup sejahterah, penghasil tak ada.

Bekerja pun begitu, apalagi jika masih berstatus kontrak, teror PHK selalu menghantui kita setiap saat. Soal PHK, kita sudah melihat buruh di Indonesia kehilangan pekerjaan. Maka bertambahlah angka kemiskinan karena tak memiliki pekerjaan dan penghasilan.

Selain lapangan pekerjaan yang sedikit dan tidak terjangkau, ditambah pula dengan upah Pekerja/Buruh di Indonesia sangatlah rendah sehingga, warga Negara banyak jatuh pada jurang kemiskinan.

Jika dibandingkan upah Buruh di beberapa Negara asia tenggara, Indonesia mendapat posisi 3 terendah di asia tenggara dengan upah sebesar Rp 3,67 juta/bulan, Kamboja Rp 2,52 juta/bulan, dan Laos Rp 2,12 juta/bulan.

Upah di Indonesia pun tidak semua sama, masing-masing provinsi berbeda-beda besaran upah. Besaran upah buruh di banyak wilayah Indonesia, berkisar Rp 1-2 juta.

Dari upah yang rendah itu, sangat menyulitkan masyarakat Indonesia memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika kita mau hitung-hitungan, kebutuhan masyarakat tiap hari dengan upah yang dihasilkan, sangat memprihatinkan, karena tidak sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). 

Pemerintah Indonesia khususnya kementerian tenaga kerja, merumuskan peraturan presiden No. 78 tentang penetapan upah. dalam penetapan upah yaitu dengan melihat pertumbuhan ekonomi dan inflasi berlaku di semua provinsi di Indonesia.

Rokok, Bukanlah Pemicu Paling Mendasar Angka Kemiskinan

Berbicara soal pemicu kemiskinan, semua hal yang mengeluarkan biaya bisa menjadi alasan. Namun, apakah itu hal paling mendasar? tentu bukan. seperti yang telah saya bahas diatas, pemicu sebenarnya angka kemiskinan adalah kebijakan pemerintah itu sendiri.

Hal inilah yang memicu angka kemiskinan di Indonesia, bukan karena masyarakatnya perokok. Justru, banyaknya perokok di Indonesia maka pendapatan Negara melalui cukai rokok pun sangatlah tinggi.

Pemerintah harusnya berterima kasih kepada perokok.Maka dari itu, alasan pemerintah memasukkan “point rokok sebagai pemicu kemiskinan” sangatlah tidak masuk akal.

Sekali lagi, pemicu kemiskinan di Indonesia adalah tidak adanya lapangan pekerjaan, dan praktek politik upah murah. Jadi, jika Indonesia ingin rakyatnya tidak jatuh dalam jurang angka kemiskinan, harusnya mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat. Bukan malah sebaliknya.

Kebijakan yang bisa dilakukan untuk menurunkan angka kemiskinan adalah membuka akses lapangan pekerjaan, menaikkan upah sesuai dengan kebutuhan hidup layak rakyat Indonesia, dan menurunkan harga bahan pokok masyarakat. Bukan menaikkan harga rokok.[pattae.com]

Penulis: Bustamin TaTo*