Tunjangan Hari Raya (THR) tentu dinanti-nanti banyak orang menjelang hari perayaan keagamaan, seperti hari raya Idul Fitri bagi umat islam. THR merupakan pendapatan non upah yang diberikan para pekerja baik untuk pegawai negara (PNS) maupun pekerja/buruh swasta.
Pemberian THR bagi PNS dan pekerja/buruh swasta, diberikan menjelang hari perayaan keagamaan sesuai agama masing-masing pekerja. Berdasarkan peraturan, THR dibayarkan selambat-lambatnya 7 hari sebelum Hari Raya Keagamaan.
Kewajiban itu, diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
THR bagi pekerja/buruh sesuai besaran gaji yang didapat tiap bulannya. Sementara untuk mereka yang bekerja kurang dari setahun, THR nya disesuaikan dengan perhitungan secara proporsional.
Meski THR hanya diberikan kepada pekerja namun, hal itu menjadi sesuatu yang lumrah dikalangan masyarakat Indonesia. Bahkan, yang tidak bekerja sekalipun seperti anak-anak, terkadang menagih THR saat menjelang hari raya.
Selain itu, mungkin masih banyak orang belum tahu asal usul adanya THR di Indonesia. Berikut sedikit mengulas sejarah penerapan upah non upah tersebut, mula berlaku.
Awal Tunjangan Hari Raya di Indonesia
Pemberian uang non upah atau THR dikuti dari history.id diperkenalkan pertama kali di era kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari partai Masyumi. Saat itu Soekiman, dilantik Soekarno sebagai perdana Menteri ke-6 pada April 1951.
Salah satu program kerja Soekiman, sebagai perdana menteri yaitu meningkatkan kesejahteraan Pamong Pradja (kini PNS) dengan memberikan tunjangan kepada pegawai di akhir bulan Ramadan.
Meski konsep itu dinilai kontroversi lantaran pada waktu itu, PNS tersebut diisi kalangan priyai, dan raden-raden yang telah memiliki penghidupan mapan pada masa itu. Namun, kenyataannya kebijakan itu masih berlaku hingga sekarang.
Kebijakan tersebut, juga mendapat respon keras dari kalangan buruh karena dianggap tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Padahal, mereka juga bekerja untuk memajukan perekonomian negara.
Kritik para pekerja/buruh swasta, baru direspon pada tahun 1994, dengan mewajibkan pengusaha untuk memberikan tunjangan kepada pekerja/buruh swasta. besaran tunjangan dan skema THR pekerja/buruh swasta diatur dalam Permenaker Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan.
Pada perkembangannya, pada tahun 2016 aturan tersebut direvisi dengan mewajibkan pengusaha membayarkan THR tidak hanya bagi pekerja tetap. Namun juga kepada karyawan kontrak bahkan, bagi yang baru memiliki masa kerja satu bulan.
Begitulah sejarah dan asal usul istilah THR muncul hingga diatur dalam peraturan pemerintah. Perlu diketahui, bagi pengusaha yang tidak membayarkan THR kepada karyawannya, akan mendapat sanksi seperti dijelaskan dalam Permenaker Nomor 20 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif dan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.[*]