Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Sulawesi Barat melalui Bidang Pengembangan dan Penerapan IPTEK melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) terkait pengembangan industri kakao di Sulawesi Barat.
Kegiatan yang dilaksanakan di Ruang Rapat Balitbangda, Kamis 7 November 2019 tersebut dihadiri partisipan dengan ragam latar belakang, seperti Akademisi, Peneliti, BUMD, Dunia Perbankan, Praktisi Industri serta Dunia Pendidikan.
Faizal Thamrin, Pelaksana Tugas Kepala Bidang Pengembangan dan Penerapan IPTEK Balitbangda menjelaskan bahwa FGD tersebut diharapkan menjadi wadah pertukaran gagasan antar pihak yang selama ini bergiat dalam kemajuan industri Kakao Sulawesi Barat. Sehingga hasil-hasil diskusi tersebut dapat menjadi masukan penting bagi pemangku kebijakan.
“FGD ini bertujuan mendapatkan masukan-masukan strategis dari peserta diskusi yang selanjutnya akan kami olah menjadi rekomendasi bagi pemangku kebijakan.” tegas Faizal.
Salah satu partisipan kunci dalam FGD tersebut adalah Dheny Frisandy Nur dari Macoa. Dheny berbagi pengalaman dalam mengembangkan industri kakao dengan produk ungguan cokelat premium Macoa. Saat ini Cokelat Macoa telah menembus pasar nasional, bahkan focus pemasaran diarahkan keluar Sulawesi Barat.
“Saat ini pasar kami lebih banyak ke luar Sulbar, kebanyakan di Jawa. Hal ini sesuai riset tentang tingkat konsumsi cokelat dibeberapa daerah.” ujar Dheny.
Dheny juga menjelaskan bahwa Sulawesi Barat merupakan salah satu penghasil kakao terbesar di Indonesia. Namun sayang produksi kakao yang besar tersebut belum disertai dengan upaya peningkatan nilai ekonomi melalui pengolahan untuk menghasilkan produk, sehingga kakao belum berkontribusi optimal bagi pendapatan daerah dan peningkatan kesejahteraan petani itu sendiri.
Saat ini, Cokelat Macoa yang merupakan produk dari CV. Putera Mataram mengalami kendala kapasitas produksi. Sehingga beberapa tawaran kerjasama belum bisa ditindaklanjuti. Dheny berharap sinergitas berbagai pihak agar kendala-kendala yang dihadapi oleh Petani dan pelaku UMKM saat ini bisa diatasi.
“Macoa sempat terkendala pada bahan baku, ketika petani enggan memfermentasi biji kakaonya. Namun kendala yang kami hadapi saat ini adalah kapasitas produksi yang tidak sebanding dengan permintaan pasar.” tutur Dheny.
Selain produksi kakao yang tinggi, Sulawesi Barat juga punya kekuatan pada Sekolah Menengah Industri Kakao (SMIK), meskipun kemudian berubah nama menjadi SMKN seiring perubahan regulasi. SMKN kakao ini diharapkan menjadi salah satu tonggak dalam melahirkan SDM yang siap mengembangkan industri kakao Sulawesi Barat ke depan.
“Kami berharap skema SMIK yang dulu, dapat dipakai kembali pada SMKN ini agar pembangunan SDM yang akan mengembangkan industry kakao dapat dioptimalkan.” tutur Abdul Syukur, salah satu tenaga pendidik pada sekolah tersebut.
Diakhir acara, Yohanis Piterson yang memandu jalannya diskusi merangkum point-point penting hasil FGD, diantaranya mendorong cokelat sebagai produk unggulan dan identitas daerah dan pentingnya hasil-hasil diskusi tersebut ditindaklanjuti dalam pertemuan strategis level pimpinan untuk merumuskan roadmap pengembangan industri kakao di Sulawesi Barat. [pattae.com]
Kontributor: Armansyah Dore*
(Analis Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sulawesi Barat)