Takdir adalah suatu ketentuan yang tersimpan rapat disisi Allah sehingga memahami takdir tidak dapat menggunakan pendekatan logika karena takdir termasuk perkara ghaib yang tidak akan dapat dijangkau detail-detailnya hanya berdasarkan logika.
Bukan wilayah logika untuk memahami takdir dengan tuntas. Ia harus dipahami berdasarkan teologi yaitu wahyu dan keimanan. Ketika takdir sudah terjadi pun, kadang orang tidak mampu menangkap hikmah yang terkandung di baliknya karena selalu menggunakan pendekatan logika.
Namun demikian takdir juga tidak dapat dipahami segala sesuatu yang paten dan sudah ada ketentuan dari Allah sehingga manusia hanya melakoni kehidupannya menurut yang sudah digariskan. Manusia tidak memiliki daya untuk menentukan prilakunya karena seluruhnya sudah terprogram menurut kehendak Allah, takdir prerogative Tuhan.
Untuk memahami takdir ini, ada cerita menarik antara Sahabat Umar bin Khattab, dengan Ali bin Abi Thalib dalam sebuah peristiwa:
Suatu saat, Sahabat Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib, berjalan-jalan dikota Madina dan bercakap tentang banyak hal, tiba-tiba dalam perjalanan itu turun hujan. Sehingga, mengganggu percakapan keduanya.
Dalam kondisi itu Sahabat Umar bin Khattab, segera keluar dari perjalanan itu dan mencari tempat berteduh karena dia tidak mau basah, sementara Sahabat Ali bin Abi Thalib, tetap melanjutkan perjalanan sehingga basah kuyup.
Ketika hujan sudah redah keduanya kembali bersama. Dan lansung Ali bin Abi Thalib bertanya kepada sahabaatnya dengan sedikit protes.
“Umar!!! Kenapa kamu lari berteduh ketika hujan? Padahal Allah sudah mentakdirkan kita kena hujan secara bersama”. Dijawab oleh Umar “saya berteduh karena mengambil takdirku tidak mau basah kuyub, sementara kamu (Ali), dihujani dan basah kuyup karena kamu tetap dijalanan dan itulah takdirmu.”
Cerita pendek tersebut diatas menggambarkan bahwa manusia diwajibkan untuk mengupayakan yang terbaik pada dirinya tentang apa saja karena ikhtiar menjadi domain manusia, tetapi dari usaha itu apapun hasilnya sudah menjadi wilayah Tuhan untuk menentukannya, Bagi sebagian orang, memahami masalah takdir tidaklah mudah banyak di antara mereka yang terjebak pada salah satu di antara dua kutub kesesatan yang saling berlawanan.
Pertama: Kesesatan Jabariyah. Yaitu golongan yang berlebihan dalam masalah takdir hingga menganggap bahwa manusia tidak memiliki kehendak dan tidak memiliki pilihan untuk berbuat. Semua serba dipaksa oleh Allah, laksana gerakan getar tubuh yang tidak dapat dikendalikan oleh pemiliknya.
Kedua: Kesesatan Qadariyah. Yaitu golongan yang berlebihan menolak takdir hingga semua kegiatan manusia tidak dicampuri oleh Allah Azza wa Jalla dan kehendak-Nya.
Dalam kitab Al-Fawaid, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur
إذا جرى على العبد مقدور يكرهه فله فيه ستّة مشاهد
Jika sebuah takdir yang buruk menimpa seorang hamba, maka ia memiliki enam sikap dan sisi pandang:
الأوّل: مشهد التوحيد، وأن الله هو الذي قدّره وشاءه وخلقه، وما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن
Pertama: Pandangan (kaca mata) Tauhid. Bahwa Allahlah yang menakdirkan, menghendaki dan menciptakan kejadian tersebut. Segala sesuatu yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan segala sesuatu yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.
الثاني: مشهد العدل، وأنه ماض فيه حكمه، عدل فيه قضاؤه
Kedua: Kacamata keadilan. Bahwa dalam kejadian tersebut berlaku hukum-Nya dan adil ketentuan takdir-Nya. Setiap peristiwa yang ditakdirkan terjadi pada diri seorang hamba pastilah Allah selalu adil dan tidak pernah zalim kepadanya, karena Allah menentukan takdir bagi seorang hamba selalu sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya dan sesuai dengan ilmu-Nya.
الثالث: مشهد الرحمة،وأن رحمته في هذا المقدور غالبة لغضبه وانتقامه، ورحمته حشوه
Ketiga: Kacamata kasih sayang. Bahwa rahmat-Nya dalam peristiwa pahit tersebut mengalahkan kemurkaan dan siksaan-Nya yang keras, serta rahmat-Nya memenuhinya.
Selanjutnya, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur
الرابع: مشهد الحكمة، وأن حكمته سبحانه اقتضت ذلك، لم يقدّره سدى ولا قضاه عبثا
Keempat: Kacamata hikmah. Hikmah-Nya Subhanahu menuntut menakdirkan kejadian itu, tidaklah Dia menakdirkan begitu saja tanpa tujuan dan tidaklah pula Dia memutuskan suatu ketentuan takdir dengan tanpa hikmah.
الخامس: مشهد الحمد، وأن له سبحانه الحمد التام على ذلك من جميع وجوهه
Kelima: Kacamata pujian. Bahwa Dia Subhanahu terpuji dengan pujian sempurna atas penakdiran kejadian tersebut, dari segala sisi.
السادس: مشهد العبوديّة، وأنه عبد محض من كل وجه تجري عليه أحكام سيّده وأقضيته بحكم كونه ملكه وعبده، فيصرفه تحت أحكامه القدريّة كما يصرفه تحت أحكامه الدينيّة, فهو محل لجريان هذه الأحكام عليه
Keenam: Kacamata peribadatan. Bahwa orang yang menjalani takdir yang buruk itu adalah sekedar hamba semata dari segala sisi, maka berlaku atasnya hukum-hukum Sang Pemiliknya, dan berlaku pula takdir-Nya atasnya sebagai milik dan hamba-Nya, maka Dia mengaturnya di bawah hukum takdir-Nya sebagaimana mengaturnya pula di bawah hukum Syar’i-Nya. Jadi, orang tersebut merupakan hamba yang berlaku atasnya hukum-hukum ini semuanya.
Dalam konteks Pilcaleg dan Pilpres yang telah dilaksanakan dikaitkan dengan Takdir Allah untuk menentukan siapa pemimpin yang mendapatkan mandat dari rakyat dan amanah dari dari Allah itu juga berlaku hukum takdir yaitu suatu ketentuan yang telah ditulis diatas ‘Arasy Allah.
Sehingga, siapapun yang terpilih dalam proses demokrasi yang telah dikhtiarkan berarti itu pilihan Tuhan yang telah diikhtiarkan oleh rakyat sebagaimana firman Allah dalam Qs.al-Imrân:26 yang berbunyi:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah, “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Qs.al-Imrân:26).
Ayat tersebut sangat gamblang menjelaskan bahwa kekuasaan, kemuliaan dan apapun adalah milik Allah dan akan diberikannya (ditakdirkannya) kepada siapa saja hambanya yang Dia kehendaki.
Oleh karena itu, dibulan Ramadan ini secara khusus untuk kaitan hasil event Pilcaleg dan Pilpres yang telah menguras pikiran dan sikologi masyarakat. Mari, kembali menyatukan langka untuk bersama-sama mengikhtiarkan keadilan dan kemakmuran karena hanya dengan bersama, Indonesia akan besar dan Indonesia akan jaya dan itulah BERKAH RAMADHAN. Semoga…
Pondok Pesantren DDI A-Ihsan Kanang, 23 Mei 2019 M/ 18 Ramadan 1440 H