Hidung minimalis kau sematkan padaku, yah memang betul hidungku tidak masuk dalam kategori spesies berhidung mancung. Nah, ternyata, dibalik seringnya suamiku memuji, sapaan hidung minimalis jika dimaknai sedikit mengalami pergeseran makna dari kata hidung pesek. Nyatanya memang aku berhidung pesek, hanya karena suamiku saja yang memberi diksi hidung minimalis hahaha.
Keromantisan terkadang di bingkai dengan sapaan-sapaan unik, aku tipe suka membubuhi gula pada saat berkata-kata, ternyata suamiku pun tidak kalah jagonya membubuhi manisan di setiap kata yang keluar dari bibir manisnya. Yah harus aku akui memang dia manis.
Tidak terasa hampir dua bulan pasca pernikahan, aku yang berprofesi sebagai tenaga pendidik di sala satu Madrasah dan juga masih terus gelisah ingin bergerak bersama kawan-kawanku di komunitas. Untungnya punya suami pengertian, yang penting harus ada komunikasi sebelum jalan keluar rumah beraktivitas.
Ah ternyata, dibalik seringnya suami memuji, aku pun selalu membanggakan suamiku tidak bermaksud pamer kemesraan di Medsos agar dikatakan romantis. Namun inilah aku yang memang senang mengabadikan setiap detik sisi kebahagiaan bersama pasangan.
Aku teringat ada Nitizen yang komen di akun Medsos pada awal-awal seminggu pernikahan kami. “Kan begitulah kalau pengantin baru, pasti romantis terus belum di tahu kedepannya belum rasakan pahitnya pernikahan”.
Positif thinking pun aku merespon dengan caption smile. Sambil bergumam dalam hati Insya Allah langgeng dan sehat terus usia pernikahan kami.
Kapan terakhir kalian memuji pasangan? Entah kenapa terkadang pujian jarang sekali di hadiahkan untuk pasangan, padahal bagiku sah-sah saja kita memuji pasangan. Ada banyak perempuan cantik di luar sana, ada banyak laki-laki gagah di luar sana, namun satu hal penting kita tanamkan, tidak ada yang lebih cantik dan gagah selain pasangan kita sendiri.
Janji sakral itu kuat, bukan mainan apatah lagi skenario film pendek. Sakinah mawadah warahmah bukan sebatas di lafalkan namun penting untuk dimaknai secara mendalam. Melebur dalam kekurangan dan kelebihan pasangan.
Hilangnya kemesraan suami-istri, memudarnya rasa cinta dan mencintai, serta semakin melemahnya komitmen untuk saling bersatu, bukan semata terjadi karena beratnya beban kehidupan.
Kerap kali, hal itu timbul karena di picu oleh buruknya komunikasi suami-istri. Pihak suami merasa benar sendiri dengan segala pikiran-pikirannya, sebaliknya pihak istri merasa santai saja dengan timbang-timbang perasaannya. Kedua belah pihak tidak menemukan kata sepakat, atau mungkin tidak ada rasa pengorbanan untuk menemukan kesepakatan, sama-sama egois tentu semakin membuat hubungan berjarak hingga berada pada jurang keretakan. Sungguh ngeri yah.
Kekurangan dan kelebihan setiap pasangan pasti ada. Namun dua sisi itu harus terus di perlakukan bijak, bukan lantas mengetuk palu buru-buru untuk pergi meninggalkan dengan melepas tangkai dari bunganya.
Aku kini belajar lebih dewasa pasca pernikahan, dari mulai harus belajar meracik kopi sesuai selera suami, belajar masak sesekali meski harus mengandalkan YouTube, memahami makanan kesukaan bahkan ikan bandeng yang membuatnya trauma untuk dia santap.
Terkadang sesekali hanya menyediakan santap instan karena harus buru-buru ke tempat kerja, dan kadang pula masih orang rumah yang mengganti peranku menyiapkan makanan, sungguh ini sisi lemah sebagai manusia. Maafkan aku sayang dengan segala keterbatasanku.
Sama-sama suka minum kopi, sama-sama suka apa adanya tanpa harus meribetkan sesuatu yang menurut logika tidak mampu di tembus.
Memuji pasangan merupakan bentuk proteksi hubungan. Anda pada saat masih pacaran dulu sering memuji, secara tidak sadar melakukan itu karena merasa belum memiliki secara sah, hingga jurus empu pun keluar dengan terus memberi bumbu manis di setiap perjumpaan.
Setelah sudah resmi menjadi suami istri, “Memproteksi agar tidak terserang hama”, sungguh pernikahan itu hal yang harus terus-menerus di rawat. Romantis itu bukan sekadar memberi puisi yang indah-indah. Namun harus di ikat dengan komitmen setia untuk terus memperkuat rasa dengan spirit berjuang bersama, dalam menghadapi setiap tahapan-tahapan kehidupan berumahtangga.
Aku dan suamiku memang tidak mengenal status pacaran, sebab pertemuan kami sangat singkat hanya berselang dua hari menyatakan perasaan, langsung visi-misi untuk menjadikan aku istrinya dia realisasikan kehadapan keluargaku.
Teringat dulu di awal perkenalan kata romantis itu “Maukah kau menjadi istriku?” ungkap suamiku.
Aku pun membalasnya tanpa harus berpikir lama, “Jika kau mampu menyayangiku lebih dari kau menyayangi diri mu, maka aku siap jadi istrimu” ungkap ku kala itu.
Tanpa menunggu jeda lama suamiku pun membalas “Jangankan diri ku, nyawa pun aku pertaruhkan untuk dirimu”.
Aku kembali menyeka keringat di sela waktu senggang sering aku menemani suami ke lahan, bahkan hanya sekadar mengecek benih tanaman cabe yang baru usia dua minggu, sekali-kali pula saat tengah malam aku ikut mengecek kondisi benih tanaman cabe. Layaknya manusia benih cabe pun harus senantiasa di kunjungi dan di berikan kasih sayang.
Suamiku yang berstatus petani. Yah, masih belajar jadi petani, sungguh membuatku semakin jatuh cinta, konsisten itu yang aku suka darinya.
Meski tidak bisa di pungkiri semanis apa pun hubungan pasti kadang ada percikan api, meski sumber percikan api itu di mulai dari aku, ataupun sebaliknya dia yang memulai percikan api. Namun selalu saja ada yang harus menjadi siap menjadi air agar api tidak membumbung tinggi he he.
Teringat ocehan kawan ngajarku di sekolah. “Bu, kira-kira mana lebih besar perhatian suamita’ ke istrinya atau ke tanaman cabenya?” ungkap Pak Risal.
Suara tawa pun pecah di ruang guru seketika lima menit kemudian bel pulang pun berdering. Pertanda, hari ini rutinitas formal di sekolah berakhir.
Senyum manis suami menyambut tepat di teras rumah. Bau lahan pun tercium bekas tanah menempel di celana. Sambil mengisap rokok ku saksikan lelah pun di lepaskan seiring asap rokok mengepul, di sampingnya ada gelas kopi bertulis Papa-Mama.
Kembali kuteringat celoteh Pak Risal, aku pun menyampaikan ke suami sambil senyum-senyum tipis. “Ayah, kata kawanku di sekolah Pak Risal. Mana yang lebih kita sayang istri atau tanaman cabe” ungkapku sambil penasaran menunggu jawaban lucunya.
“Aku lebih menyayangi tanaman cabeku. Jika cabe aku sayang, maka secara otomatis kita ikut aku sayang dan keluarga” ungkap suamiku sambil tertawa.
Aku pun mengangguk kepala sambil tertawa kecil, “Kalau kita lebih aku perhatikan dan mengabaikan cabeku. Maka cabeku akan gagal panen dan pedagang akan pusing terlebih keluarga” tutup suamiku.
Merawat tanaman sama seperti merawat manusia, rasa saling memiliki adalah kunci keharmonisan yang tak lekang oleh waktu. Sungguh aku teringat kata-kata yang pernah di bisikkan di kedua kuping telingaku, rindu itu tidak berjarak. Jika berjarak itu bukan rindu. Semakin dekat maka semakin rindu itu menumbuh.
I really really love you, sehat selalu sayang, kita masih berjuang masih menyiapkan amunisi untuk visi-misi jangka panjang, untuk meneguk wangi kehidupan agar mampu saling menghidupkan. Tidak sebatas antara aku dan kamu. Namun secara kolektif banyak ruang-ruang bahagia tercipta, bukankah kita tidak bisa menafikan. Sejak lahir Tuhan telah mendesain tubuh kita untuk senantiasa berbagi.[*]