Cerita Nene Lolli di kampung Kurra Desa Kurma, Sulbar, merupakan asal-usul lahirnya tradisi Mappakande Rindu. Tradisi ini penuh cerita dramatis dan sedikit berbau mistis. Diyakini sebagai kisah nyata, cerita itu disampaikan hingga turun-temurun agar Tradisi tersebut tetap lestari hingga generasi berikutnya.
Adanya tradisi Mappakande Rindu, Berawal dari cerita orang-orang terdahulu masyarakat Pattae Kurma yang hingga kini tak terlupakan. Begini ceritanya.
Kala itu, nene bernama Lolli, beranjak ke sungai tuk mengambil air, sekaligus mandi. Setelah itu, sontak saja si nenek menghilang tanpa sebab akibat yang jelas. ia menghilang selama tiga hari tanpa kabar. Warga kampung pun panik dibuatnya, dan bergegas tuk mencari keberadaan sang nene tersebut.
“Dolo Mai, di wattunna tua siapa neneki, Lao mi wai diong manosok torro mindio , mindiona mi tudio o pa’de mi tallung Allo”.
“Sampai seluruh warga kampung panik mencarinya. Tappa na lambi tallung ngallo mappa sulemi”.
Setelah kembali, cerita Nene Lolli pun menggema tentang kepergiannya yang tak memberikan kabar. Ia pun memulai ceritanya kebada kerabatnya di darat, bahwa ternyata, Kita (warga Kurma) memiliki saudara yang berada di sungai. Saudara Nene yang ditemuinya, berwujud seperti buaya.
“Iya mo tudio, neneki di Sanga Nene Lolli maccarita, dengan pale sirondong ta diong wai mawuju’ kanene (buaya)”.
Lanjut cerita Nene Lolli. Saat ia berada dalam air sungai selama tiga hari, nene lolli kemudian diberikan tiga macam makanan, dari saudaraya (Buaya). Namun, si Nene pun menolak tuk menyantapnya.
Karena si nenek enggan makan, saudaranya yang ada dalam air tersebut pun merasa khawatir dan berkata, “baiknya kamu dipulangkan saja, karena tak mau menyantap makanan yang ada disini (dalam air)”. Kata si Buaya khawatir. “Nanti kamu bisa mati.” lanjut saudara nenek tersebut yang berwujud Buaya.
“Maccaritai kimua wattunna diong wai, tallung Allo, nabengan nande tallung rupa, tapi na Tae Melo ku Mande, sampai akhirna, kimua mi tudio sirondongta diong wai, di pasule Moko pole, aka la mateko inde, ka Tae ko Melo Mande anu inde”.
Sebelum pulang, Nene Lolli diberi Kunyit mentah sebanyak satu genggaman. Namun, si nene tak mengambil semua kunyit yang diberikan saudaranya dalam air tersebut. Ia hanya mengambil bagian kecilnya saja. Sesampai didaratan, Kunyit yang Nene Lolli ambil tadi, berubah menjadi emas batangan.
“Sampai nabengan kunyi mamata sakkaramok. Tapi, tae nala nasan , iya paling barinnik, iya Tomo na ala. Ternyata, lambi langngan potta, bulawan batangan pole”.
Sebelum pulang, saudara nene Lolli yang ada dalam air tersebut berpesan kepada nene Lolli. Pesan tersebut ditujukan kepada warga setempat.
Pesannya seperti ini “jika warga kampung akan menyeberangi sungai”, Kata si Buaya saudara nenek Lolli, “Maka permisih lah sambil menyembur air tiga kali menggunakan tangan kanan, sembari berkata:
“aku appona Nene Lolli (saya cucunya Nene Lolli)”. Pesan si Buaya.
Si Buaya yang mengaku sebagai saudara Nene Lolli itu, juga berpesan agar diberikan makanan 3 tahun sekali. Pesan itu sebagai mengingat bahwa sang Buaya adalah saudara Nene Lolli yang berada di air (sungai).
Cerita diatas tadi merupakan hasil wawancara penulis dengan beberapa warga kampung Kurma. Mereka adalah Nurlinang, Sidiq (Papa Pawa), Nurlang, dan Papa lias, yang bercerita secara bergantian.
Begitulah kisah cerita si Nene Lolli dan saudaranya (Rindu) Buaya serta asal usul tradisi Mappakande Rindu yang dilaksanakan 3 tahun sekali.
Tradisi ini, masih dilakukan anak cucu Nene Lolli hingga kini. Tuk mengetahui siapa saja yang memiliki saudara di air, bisa diketahui melalui petanda dalam mimpi atau saat baru lahir. (pattae.com)
Penulis: Yunita*