Dakka; Komunitas Kecil Yang Terlupakan Di Polewali Mandar

Gambar ilustrasi masyarakat Dakka Polewali Mandar
Gambar ilustrasi masyarakat Dakka Polewali Mandar

(Sebuah Narasi Yang Tidak Utuh Etnis Dakka)

Selain etnis Mandar, Bugis, Jawa, Pannei dan Pattae yang menjadi penghuni setia Polewali Mandar (Polman), juga terdapat satu komunitas kecil bernama Dakka. Keberadaan etnis ini memang tidak terlalu dikenal oleh banyak orang, sebab selain jumlah warganya sedikit, komunitas ini juga tidak memiliki tradisi tulis (baca; Lontora) sebagai salah satu penanda keberadaan suatu etnis.

Berdasarkan informasi lisan dari tokoh masyarakat setempat, Dakka berarti air laut yang surut kepantai. Keberadaan fosil kerang dan gundukan pasir laut yang diperkirakan sudah berumur ribuan tahun di puncak gunung Dakka yang sampai hari ini masih bisa ditemukan. Oleh masyarakat setempat diyakini sebagai salah satu bukti kuat bahwa dulunya wilayah tersebut adalah genangan air laut.

Selain itu, tidak hanya menjadi nama sebuah suku, tapi juga dilektakan menjadi nama sebuah desa, tempat dimana masyarakat Dakka bermukim. Secara administratif, Desa Dakka merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Tapango. Hamparan sawah yang membentang begitu luas sekaligus menjadi ciri khas kehidupan sosial masyarakatnya yang mayoritas berprofesi sebagai petani.

Selain kehidupan agraris tersebut, etnis Dakka juga dikenal sebagai etnis yang cukup terbuka terhadap pendatang. Mereka memperlakukan pendatang sebagaimana laiknya sebagai saudara, mereka berbaur satu sama lain dan saling tolong menolong. Atas dasar itulah, kemudian dikenal sebagai wilayah multikultur untuk skala pedesaan di Polman.

Identitas Bahasa

Sebagai komunitas, Etnis ini punya sejarah dan identitas tersendiri yang membedakan dirinya dengan etnis yang lain. Bahasa keseharian yang digunakan adalah bahasa Dakka. Sebuah bahasa yang cukup unik dan tidak umum digunakan di wilayah Polman. Krakter kebahasaan inilah yang membedakannya dengan etnis lain. Seperti bahasa Mandar, yang hampir bisa ditemukan diberbagai wilayah di Polman dengan dialek yang berbeda-beda.

Olehnya itu, tidak sulit untuk mengetahui bahasa Dakka, sebab dialek bahasanya tidak beragam. Berbeda dengan bahasa Mandar, Pannei, Bugis dan Toraja yang notabene menjadi alat komunikasi masyarakat Polman pada umumnya. Jika demikian, lalu kenapa Komunitas ini tidak terlalu dikenal? boleh jadi karena komunitas ini dianggap minoritas dan secara geografis hanya mempunyai wilayah kecil (desa), sehingga tidak menarik untuk dipublikasikan.

Selain itu, meskipun etnis Dakka adalah salah satu penduduk asli Polman, nampaknya keberadaannya tidak pernah dianggap ada. Ditambah oleh sebagian generasinya yang tidak terlalu peduli akan keberadaan daerahnya sendiri, serta praktik mendidik generasi (anak-anak usia dini) dalam rumah tangga mereka mengunakan berbahasa Indonesia, bukan dengan bahasa sukunya.

Sehingga, wajar kemudian jika muncul keprihatinan akan masa depan etnis ini. Sebab tidak menutup kemungkinan generasi berikutnya yang lahir dan besar di wilayah tersebut, merasa terasing dengan identitas dan kebudayaanya sebagai orang Dakka.

Tradisi dan Filosofi Hidup Masyarakat Dakka

Meski tidak ada literatur yang menggambarkan keberadaan etnis Dakka secara kultural. Tapi paling tidak mereka juga mempunyai tradisi dan filosofi Hidup tersendiri.

Salah satunya adalah keteguhan untuk senantiasa menjaga kejujuran sebagaimana yang tergambar dalam kearifan lokal mereka sebagai filosofi hidup, “Dotai Jappo Narari Kaboro-boro”, yang artinya kurang lebih sebagai berikut; lebih baik hancur berkalang tanah, dari pada hidup dengan penuh kebohongan.

Selain itu, dalam hal tradisi, praktik ritual, seperti berdoa (Ma’baca) dipinggir kali (lembang) di kaki gunung Buttu Dakka sebagai simbol penghargaan terhadap alam dan sekitarnya, juga kerap kali dilakukan.

Upacara ritual yang merupakan tradisi kepercayaan nenek moyang mereka diupayakan untuk tetap terjaga, karena didalamnya terdapat ritual tolak bala, yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan keseharian mereka, seperti kesehatan dan kesuburan tanah warga agar bisa menghasilkan panen yang melimpah.

Meski demikian, seiring dengan masifnya kemajuan zaman yang berbarengan dengan hadirnya paham-paham keagamaan modern (fundamental), menjadikan tradisi masyarakat berada diambang kepunahan.

Tradisi masa lalu saat ini, tidak lagi gampang untuk ditemukan, sebab tradisi mereka tergilas oleh laju modernisasi kehidupan. Meskipun masih ada tersisah, tapi itu mungkin hanya sekedar serpihan yang tidak utuh lagi menjadi sebuah tradisi. Sama dengan tidak utuhnya tulisan ini dalam menarasikan Dakka sebagai sebuah kebudayaan. Harun Mangku Langit Abdullah S

Penulis: Abdullah S