Mantan Presiden Mahasiswa Fakultas Hukum Sesalkan Surat Edaran Rektor Unhas

Presiden Mahasiswa
Akhmad Awaluddin, praktisi Hukum sekaligus Mantan Presiden Mahasiswa FH Unhas

Mendekati hari pemilihan Presiden 2024. Jokowi mulai terang terangan menampilkan keberpihakannya terhadap salah satu pasangan calon yang dapat dilihat sejak dari penunjukan penjabat kepala daerah. Pernyataan Presiden bisa berpihak  sampai dengan kebijakan bantuan sosial masyarakat.

Akrobatik Jokowi tersebut membuat masyarakat semakin gerah, dikarenakan jokowi tidak lagi menampilkan sosok negarawan dalam mengawal demokrasi. Malah, semakin membuat sistem hukum dan demokrasi menjadi carut-marut hanya karena ambisi untuk melenggangkan kekuasaannya dengan cara melanggar etika bernegara.

Keresahan ditambah  ancaman ambruknya sistem hukum-demokrasi Indonesia itu mendapat tanggapan dari forum Guru Besar dan Dosen Universitas Hasanuddin (UNHAS) Jumat 4 Februari 2024. Mereka mencoba menyuarakan permintaan agar presiden menghargai proses demokrasi yang jujur dan adil.

Tidak lama berselang setelah deklarasi, Rektor Universitas Hasanuddin mengeluarkan maklumat dan menyatakan bahwa gerakan itu tidak mewakili UNHAS. Hal itu membuat silang pendapat di kalangan civitas akademik maupun alumni UNHAS.

Beberapa Alumni lintas angkatan yang juga adalah Mantan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum pun bereaksi atas tindakan Rektor UNHAS tersebut. Sebut saja  Anshar, alumni sekaligus penggiat hukum Provinsi Sulawesi Barat, angkat bicar terkait ahl itu.

Anshar mengungkapkan, kampus UNHAS punya sejarah panjang perlawanan atas rezim yang menyengsarakan rakyat. Bukanlah stempel kekuasaan dimana kampus hanya dijadikan patung ketika terjadi gejolak dalam masyarakat.

Sehingga, lanjut pengusaha muda Sulawesi Barat mengatakan itu mengatakan, sungguh sangat tidak logik apabila Rektor UNHAS menjadi body-guard terhadap nyala aspirasi para guru besar UNHAS.

Ditempat yang berbeda Akhmad Awaluddin, selaku praktisi hukum juga ikut memberikan komentar terkait surat edaran Rektor. Menurutnya, kritikan para guru besar tersebut merupakan puncak kemarahan dan kegelisahan atas terkoyaknya sistem hukum dan demokrasi.

Hukum dan demokrasi, lanjut Akhmad, dipaksa mundur atas adanya praktek menghalalkan segala macam cara melanggengkan kekuasaan menuju otoriterianism dengan beralaskan korupsi kolusi dan nepotisme.[rls]*