Tradisi ngopi pagi, tak pernah luput ku ritualkan, segelas kopi sedikit gula, ku seduh hangat-hangat, sembari mencium bau perayaan HUT RI Ke 75.
Ah, ngopi tanpa harus meribetkan hati dan pikiran, ngopi dengan perasaan merdeka, yah mungkin tidak berlebihan, jika aku merasakan kemerdekaan, saat meracik segelas kopi, tanpa politisasi rasa.
Tanpa campur tangan selera kawan-kawanku, sebab kemerdekaan rasa ada pada diri pribadi masing-masing. Tentu kita sama-sama sepakat, bahwa tendensi rasa itu, bagian dari penjajahan.
Aku pun bersandar di kursi sofa merah maroon, di tiap seduhan kopi, jemariku tiba-tiba membuka group WA, Aliansi Komunitas Polman, wow besok sudah jadwal keberangkatan, time schedule 14-17 Agustus 2020 di Luwu Utara.
Aku segera packing barang, yah lumayan 4 hari touring, persiapan ngecamp sudah aman, sebab diprediksi kami akan ngecamp di lokasi.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, segera mempersiapkan segala sesuatu di posko induk, armada mobil Dalmax Polres Polman, dan mobil pick up dinas Kelurahan Polewali, menjadi alat transportasi kami menuju Luwu Utara.
Tiga item kesepakatan, program yang akan kami jalankan, pertama, program ketahanan pangan, program ketahanan pangan ini adalah program yang di inisiasi oleh kawan Pemuda Desa Balebo, kawan Simpul Peradaban Palopo dan kawan HMK Muhammadiyah Palopo. Kami dari aliansi men-support dengan menyerahkan donasi bibit, semen dan cat.
Kegiatan ketahanan pangan ini di pusatkan di Desa Balebo. Kedua, program trauma healing, di-paket-kan lomba dan upacara HUT RI 75 dilaksanakan di Desa Maipi.
Perjalanan pun dimulai rombongan Aliansi Komunitas Polman, diantaranya Karang Taruna Pasiang, Gerakan Pemuda Peduli, Serikat Nasional Akademisi Sulbar, Jendela Pendidikan, Dompet Dhuafa Sulbar, Himpunan Mahasiswa Agribisnis Unasman, Ikatan Mahasiswa Matakali, Ruang Pelajar Merdeka, dan Bola Literasi Nusantara.
Aliansi Komunitas Polman, masing-masing mengirimkan perwakilan. Perjalanan pun dimulai pukul 17.00 Wita. Namun kami rehat makan malam, di Monumen Bambu Runcing Sidrap, mengisi perut yang sudah pada ngorok.
Setiba di monumen, kawan dari Sandek diwakili oleh Ahmad, segera naik ke pelataran panggung, sembari membacakan puisi kemerdekaan, kami pun terkesima, dan sontak mengalihkan perhatian.
Ah, Ahmad boleh juga, memantik semangat di tengah wajah-wajah lelah. Sesegera mungkin kami melahap bekal yang kami bawa, mengisi perut, di tengah wangi malam di bumi Nenek Mallomo Sidrap.
Perjalanan pun dilanjutkan, dingin malam di atas mobil pick up, bernyanyi tertawa, membelai dingin malam di perjalanan. Ini menjadi kemerdekaan tersendiri. Meski tumpukan kaki dan duduk berdempetan, sempit yah pastilah.
Hem apatah lagi body-body berbeda, ada yang berbobot berat sampai ringan, kaki panjang sampai berkaki pendek. Namun perbedaan body inilah, membuat kami terikat satu tali persaudaraan. Hingga ide canda-an tak henti-henti mengalir memenuhi otak. Ah perjalanan lelah bercampur canda tawa, semakin membuat ramai dan rasa bahagia terteguk tiada henti.
Semesta mendukung, cuaca malam tidak membuat kami khawatir. Langit dipenuhi bintang, tepat jam 05.00 Wita, adzan subuh menyambut kami di Kota Palopo.
Transitlah kami di kediaman kawan Simpul Peradaban Palopo. Sebagian melaksanakan ritual sholat subuh, kemudian lanjut meluruskan badan,memenuhi hak kemerdekaan raga, sebab di mobil, kaki, betis dan kepala terasa tertindas.
Pukul 10.00 Wita perjalanan pun kami lanjutkan menuju Masamba, tepat pukul 13.00 kami tiba di Desa Balebo. Rehat sejenak dan melingkar santai, sembari menikmati aroma kopi Kampung Balebo.
Selang beberapa menit kemudian, kami pun bergeser ke lokasi, dimana tempat pembuatan pot dari pakaian bekas, donasi korban yang di daur ulang.
Setelah penyerahan donasi bibit, semen dan cat, kami pun antusias belajar, membuat pot dipandu oleh kawan-kawan Balebo dan Palopo.
Alhasil beberapa pot kami selesaikan. Malam hari pun tiba, diskusi santai ditemani Kopi Mertua, sambil merapikan agenda selanjutnya, di titik kedua di Desa Maipi.
Ada yang menarik, Kopi Mertua, asli enak rasanya, rasa penasaranku, segera aku bertanya. Ini kopi apa bung, katamu ini kopi mertua, yah ini asli dari biji kopi mana?, betul-betul ngeh dilidah bung.
“Ini kopi kapten, hanya karena diracik oleh tangan penuh cinta, maka rasanya nikmat. Maka kami sebutlah ini sebagai kopi mertua, dan perlu kalian tahu.Ibu yang meracik ini punya anak gadis cantik” bung Raju pun dengan sigap menjawab, dengan gaya cool-nya.
Ya ya ya, kami pun tertawa dan menikmati malam panjang, di tepi Sungai Masamba, di atas gazebo kami rehatkan raga. Dengkuran melebur, angin dingin melelapkan kornea mata. Kita rehat tepat di tepian, tak jauh dari bongkahan kayu bantalan, sisa-sisa hantaman banjir bandang.
Cahaya pagi memacu adrenalin, rombongan pun segera mempersiapkan diri, menuju ke lokasi kedua di Desa Maipi.
Pukul 09.00 Wita kami berangkat, dikarenakan jembatan di Desa Balebo terputus, maka rute memutar menjadi jalan alternatif. Sepanjang jalan mata menyaksikan Sungai Masamba kering, bersisa retakan jalan aspal, tertutup lumpur, rumah beberapa hunian beratapkan rumbia, sesekali kami lihat sudah menyatu dengan lumpur. Tebing-tebing sisa longsor di gunung pun, dari jauh mata kami menjangkaunya sepintas.
Tak terasa tibalah di Desa Maipi, kawan Karang Taruna Desa Maipi menyambut hangat, ah persentasi program pun kami lakukan, setelah rehat sejenak, menuju lah rombongan ke lokasi kegiatan, tepat di lapangan Desa Maipi.
Tenda-tenda pengungsian menyambut, wow ada komunitas Ojol Nusantara (ojek online), ternyata beliau yang mendedikasikan energi membuat tenda-tenda, untuk dihuni sementara para korban banjir.
Aku dan berlima kawan melingkar di posko abang-abang Ojol Nusantara, menyampaikan niat kami berkegiatan di lokasi tersebut. Ramah, bersahabat diselingi candaan, abang-abang Ojol Nusantara, sangat welcome, bahkan memberikan ruang, silahkan berkreatifitas di lokasi ini, sesuai program yang kami usulkan.
Sore pukul 14.00 Wita, kegiatan trauma healing dan perlombaan digelar, ramai dan antusias di area pengungsian menyambut gembira. Ada suka cita dan haru, melebur bersama meneguk rasa kemerdekaan, lewat cara sederhana menu-menu lomba kami suguhkan.
Game ular tangga, susun gambar pancasila, memasukkan paku ke botol, lari balap karung, menu-menu lomba menjadi kepuasan tersendiri, bukan hanya anak-anak yang ikut bermain, namun pemuda dan ibu-ibu begitu antusias.
Aku dan kawan-kawan begitu menikmati suasana di area pengungsian, senyum tawa pecah para peserta lomba, memantik adrenalin kebahagiaan.
Setelah beberapa lomba selesai, dua orang ibu menghampiriku. “Nak, bisa tambah lagi lomba ya, biar satu sachet saja shampo hadiahnya. Kami juga bahagia, sebab kami ingin menikmati penuh kegembiraan,” ungkap ibu berdaster bunga-bunga.
“Nak boleh yah. Kami minta tambah lomba Ma’denge, khusus ibu-ibu, jadi kami lomba lari, sambil menggendong dari belakang, boleh ya nak,“. Wajah ibu berkerudung abu-abu itu pun, menambahkan, merayu sembari memeluk pundakku.
Aku pun langsung menjawab, tunggu ya bu, keinginan tambahan lomba dari ibu keren, tunggu sebentar, akan kusampaikan sama kawan-kawan ku, semangat ya bu. Insya Allah bisa kami penuhi.
Aku pun berjalan menghampiri kumpulan kawan-kawan ku, sembari di kepala terbesit. Yah, bukankah salah satu substansi rasa kemerdekaan, adalah memenuhi kemauan, apatah lagi ibu-ibu pengungsi yang minta dengan sangat.
Aku pun menyampaikan usulan ibu-ibu, kawan-kawan pun sepakat kita acc, menambah item lomba satu, yaitu lomba Ma’denge.
Riuh, asli ramai, sorak sorai, bergemuruh di tanah Maipi. Seolah-olah mengalahkan gemuruh saat banjir bandang menerjang pemukiman warga di bentaran Sungai Masamba.
Tiba saatnya penyerahan hadiah, berupa tumbler untuk adik-adik, dan semua dapat hadiah snack. Khusus ibu-ibu hadiah yang kami berikan adalah pakaian dalam baru yang telah donatur amanahkan kepada kami.
Lelah pun terbayar, sebab agenda trauma healing dan lomba sukses. Intinya tidak memberikan kesan kekecewaan, justru malah kami mendapatkan hiburan lebih. Senyum lebar tawa canda mereka, semakin mensugesti rasa.
Malam pun semakin beranjak, Desa Maipi gelap gulita, sebab tiang listrik yang tumbang dampak dari banjir bandang, sampai saat ini belum bisa normal. Beberapa lilin pun menghiasi perkampungan, hanya ada satu ganset itu pun khusus di pasang di area pengungsian, sebagai penerang di tenda-tenda pengungsi.
Gelapnya Desa Maipi, tidak menyurutkan semangat kami, sebab terangnya hati para warga Desa Maipi. Menerima kehadiran kami, hal ini tentu mampu mengalahkan gelapnya Maipi tanpa lampu penerang.
17 Agustus pun tiba, tak terasa, segera rombongan bergegas melebur. Suasana begitu khidmat, tampak hadir pula dari Rumah Zakat Sulsel, Lazis Wahdah Sulsel, Pramuka Satuan Palopo, unsur pemerintahan Desa Maipi, dan segenap masyarakat ikut melebur. Merasakan alunan lagu Indonesia raya, pembacaan proklamasi, dan sebagaianya.
Prosesi perayaan upacara bendera HUT RI 75 di Desa Maipi berjalan lancar, pembina upacara. Dalam hal ini diwakili oleh Pak Hajis. Beliau selaku Sekdes Maipi, memberi penguatan tentang arti saling memanusiakan manusia. Saling berbagi dalam balutan sipakatuo, sipakelebbi’, sipakainge’, yang artinya saling menghidupkan, saling menghargai, saling mengingatkan.
Momentum 14- 17 Agustus 2020 di Luwu Utara Menyisahkan banyak warna cerita, tak luput pula menyemai benih rindu. Rindu akan bersua kembali bersama kawan-kawan di Luwu Utara.
Di balik setiap agenda, tenyata kita tak bisa memungkiri, fotografer handal, totalitas pun tampak. Dimana, Kak Ucu rela memanjat pohon kelapa, demi memotret kami, demi menghasilkan jepretan keren.
Abadi dalam jejak, menuangkan lewat gambar, tulisan ataupun seikat syair, bagi para pejalan-pejalan kehidupan, yang senantiasa haus, untuk saling berbagi rasa kemanusiaan.
Hari ini tepat tanggal 21 Agustus 2020, Kak Dayat salah satu kawan dari Karang Taruna Desa Maipi, memberikan kami kabar gembira lewat via Whatsapp.
Kabar tentang peresmian jembatan Bailey, jembatan tersebut menghubungkan Kota Masamba, dengan lima desa di Luwu Utara. Lima Desa yang dimaksud adalah Desa Maipi, Desa Sumillin, Desa Pincara, Desa Lantang Tallang, dan Desa Tondok Tua.
Kabar gembira ini tentu menjadi kado kemerdekaan, bagi warga di lima desa tersebut, mereka tidak harus lagi keliling jauh, untuk menjalani aktivitas menyambung kehidupan.
Penulis : Blantara*