Jarang Ngantor, 5 ASN...

Polewali Mandar Lima Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar (Polman)...

DPRD-Pemkab Polman Sahkan APBD...

Polewali Mandar Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar resmi menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Anggaran...

Mobil Pembawa Uang Rp5,2...

Polewali Mandar Sebuah mobil boks milik perusahaan Swadaya Sarana Informatika (SSI) yang mengangkut uang...

Dibangun Diatas Tumpukan Sampah,...

Polewali Mandar Proyek pembangunan Hanggar Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di Desa Paku, Kecamatan...
HomeEditorialMengapa Kita Harus...

Mengapa Kita Harus Menulis: Menyalakan Cahaya di Tengah Kebisingan Zaman

Menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi menyuarakan pikiran, menjaga ingatan, dan menegaskan keberadaan manusia di tengah derasnya arus informasi.

Di tengah dunia yang semakin bising oleh suara-suara singkat dan cepat, menulis seolah menjadi kegiatan yang tertinggal. Banyak orang lebih memilih berbicara di depan kamera, membuat video singkat, atau menulis komentar kilat di media sosial, daripada menulis panjang dan reflektif. Namun, justru di saat seperti inilah, menulis menjadi tindakan yang paling penting dan bermakna. Menulis bukan hanya soal kemampuan berbahasa, tetapi juga soal keberanian berpikir dan tanggung jawab moral.

Lalu, mengapa kita harus menulis? Pertanyaan ini sederhana, tapi jawabannya bisa mengguncang kesadaran kita sebagai manusia yang hidup dalam era digital yang serba cepat ini.

Ketika seseorang menulis, ia tidak sekadar menuangkan apa yang ada di kepalanya. Ia juga memproses, memilah, dan menata ulang pikirannya. Pikiran yang semula berserakan menjadi terstruktur. Dalam proses menulis, kita belajar untuk berpikir lebih sistematis, kritis, dan mendalam.

Tidak heran jika banyak pemikir besar di dunia justru dikenal bukan karena ucapannya, melainkan karena tulisannya dari Socrates yang terekam oleh muridnya Plato, hingga Kartini yang suaranya abadi lewat surat-suratnya. Menulis menjadikan ide tidak sekadar hadir, tetapi hidup lebih lama daripada penulisnya.

Sepanjang sejarah, tulisan telah menjadi senjata yang ampuh untuk menggugah kesadaran masyarakat. Dari pamflet kemerdekaan, artikel perlawanan, hingga esai-esai reflektif tentang keadilan semuanya lahir dari pena yang berani menentang ketidakadilan.

Tulisan tidak selalu harus membakar semangat revolusi besar, tetapi bahkan tulisan kecil yang jujur bisa menyalakan api perubahan di hati pembacanya. Ketika seseorang menulis tentang ketimpangan, lingkungan, atau nilai kemanusiaan, ia sedang menggerakkan roda kecil yang bisa memutar perubahan besar di masa depan.

Dalam masyarakat yang lebih banyak berbicara ketimbang membaca, menulis menjadi tindakan pelestarian yang sangat penting. Cerita rakyat, pengalaman lokal, dan kearifan komunitas bisa lenyap jika tidak ditulis.

Di sinilah peran penulis menjadi sangat penting bukan hanya penulis buku, tetapi siapa pun yang mau mendokumentasikan kehidupan di sekitarnya. Menulis berarti menyelamatkan ingatan kolektif. Menulis berarti memastikan generasi berikutnya tidak kehilangan arah karena kehilangan cerita.

Tak semua tulisan lahir dari gagasan besar. Banyak tulisan justru lahir dari luka. Dalam catatan harian, puisi, atau esai personal, seseorang bisa menemukan kedamaian yang tidak ia temukan di tempat lain.

Menulis membantu kita berdialog dengan diri sendiri, menumpahkan amarah tanpa menyakiti siapa pun, dan berdamai dengan masa lalu. Kata-kata menjadi terapi, menjadi penenang, menjadi jembatan antara hati dan logika.

Dalam diamnya halaman kosong, banyak orang justru menemukan makna hidup yang tak pernah ia sadari.

Menulis juga berarti ikut terlibat dalam kehidupan masyarakat. Dengan menulis opini, artikel, atau bahkan status reflektif yang berisi gagasan membangun, kita sedang ikut dalam percakapan besar tentang masa depan bangsa.

Tulisan yang baik tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menumbuhkan kesadaran. Dan yang paling penting, menulis tidak memerlukan panggung besar. Cukup dengan satu tulisan jujur di media komunitas, seseorang bisa menjadi bagian dari perubahan sosial yang lebih luas.

Setiap zaman butuh saksi, dan penulis adalah saksi yang tidak hanya melihat, tetapi juga mencatat. Dalam setiap peristiwa sosial, politik, ekonomi, dan budaya, tulisan menjadi bukti bahwa kebenaran pernah diucapkan, meski oleh suara kecil.

Menulis berarti berani berpihak pada nilai kemanusiaan. Menulis berarti menolak diam di hadapan ketidakadilan. Menulis berarti menjadi bagian dari sejarah bukan sekadar penonton.

Namun, di tengah kemudahan teknologi saat ini, tantangan menulis justru semakin besar. Banyak orang lebih memilih mengunggah status singkat, komentar cepat, atau video pendek ketimbang menulis panjang yang reflektif.

Budaya instan ini membuat kemampuan berpikir mendalam dan menulis argumentatif semakin menurun. Padahal, tanpa kebiasaan menulis, kita kehilangan kemampuan untuk menganalisis dan menyampaikan ide secara runtut.

Menulis bukan hanya soal menuangkan isi hati, tetapi juga melatih kedisiplinan berpikir dan kesabaran dalam berproses.

Selain itu, menulis juga merupakan bentuk partisipasi aktif dalam kehidupan publik. Ketika seseorang menulis opini, artikel, atau bahkan status reflektif yang berisi gagasan membangun, ia sedang ikut serta dalam percakapan besar tentang masa depan bangsa.

Menulis bukan monopoli wartawan atau akademisi. Setiap warga punya hak dan tanggung jawab untuk bersuara, dan tulisan adalah salah satu saluran paling bermartabat untuk itu. Tulisan yang baik tidak hanya menginformasikan, tetapi juga menginspirasi dan menggerakkan.

Menulis juga memberikan manfaat pribadi yang sangat konkret. Bagi pelajar dan mahasiswa, kemampuan menulis membantu mereka menata argumentasi ilmiah dan berpikir logis. Bagi profesional, menulis memperkuat kredibilitas dan memperluas jejaring.

Bagi aktivis dan tokoh masyarakat, menulis menjadi cara menanamkan nilai dan ideologi kepada publik. Bahkan bagi orang biasa, menulis bisa menjadi cara untuk dikenang, karena kata-kata tidak akan punah meski penulisnya telah tiada.

Akhirnya, menulis adalah bentuk tanggung jawab moral. Setiap zaman membutuhkan saksi, dan penulis adalah saksi yang tidak hanya melihat, tetapi juga mencatat.

Dalam setiap peristiwa sosial, politik, ekonomi, dan budaya, penulis memegang peran penting untuk memastikan kebenaran tidak hilang di tangan penguasa wacana. Menulis berarti berani berpihak pada kebenaran, berani menolak diam ketika ketidakadilan terjadi.

Karena itu, menulis bukan sekadar kegiatan akademik atau profesi, melainkan panggilan nurani. Kita menulis agar tidak bisu di tengah dunia yang bising. Kita menulis agar pikiran tidak mati dalam diam. Kita menulis agar peradaban terus berjalan, dan agar generasi mendatang tahu bahwa kita pernah berpikir, merasa, dan berjuang.

Jadi, mengapa kita harus menulis? Karena dengan menulis, kita menjadi bagian dari sejarah. Karena lewat tulisan, kita bisa menyalakan cahaya sekecil apa pun di tengah gelapnya zaman. Dan mungkin, dari satu tulisan kecil hari ini, lahir perubahan besar di hari esok.[*]

Get notified whenever we post something new!

spot_img

Kirim Tulisan Anda

Bagi anda yang ingin tulisan nya dipublis di laman pattae.com, silahkan kirim ->

Continue reading

Dibangun Diatas Tumpukan Sampah, Proyek TPST di Paku Jadi Sorotan

Polewali Mandar Proyek pembangunan Hanggar Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di Desa Paku, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, jadi sorotan. Bangunan senilai Rp 3,7 miliar itu berdiri di atas tumpukan sampah plastik bekas Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Pantauan...

ICMI Sulbar “Go To Kampus” ke Institut Hasan Sulur Bahas Filantropi Islam di Era Digital

Polewali Mandar Ikatan Cendekia Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah Sulawesi Barat menggelar kegiatan “ICMI Go To Kampus” di Institut Hasan Sulur, Kamis (23/10/2025). Kegiatan ini menjadi momentum penting dalam mempererat sinergi antara dunia akademik dan organisasi intelektual Muslim, khususnya dalam...

MK Putuskan Masyarakat Adat Tak Perlu Izin Usaha untuk Berkebun di Kawasan Hutan

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan masyarakat adat tidak wajib mengantongi perizinan berusaha dari pemerintah pusat jika ingin berkebun di kawasan hutan, selama kegiatan tersebut tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Dalam amar Putusan Nomor 181/PUU-XXII/2024 yang dibacakan di Ruang Sidang Pleno MK,...

Enjoy exclusive access to all of our content

Get an online subscription and you can unlock any article you come across.