Setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan agar persoalan stunting dapat benar-benar diselesaikan yang pertama intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif
Lina Fitriani, S.ST.,M.Keb dalam “Menyelamatkan Indonesia Emas Dengan Pencegahan Stunting”
Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan oleh potongan Video Ketua Partai PDI-Perjuangan, Ibu Megawati Soekarno Putri, yang sekilas membahas mengenai pendapatnya tentang kelangkaan minyak goreng di Indonesia. Seperti Nitzen pada umumnya sebagain dari kita sibuk memperdebatkan pernyataan presiden kelima tersebut, tanpa mencoba mencari tau apa muatan sebenarnya dari video tersebut.
Potongan video yang viral diberbagai platform media sosial tersebut, diambil dari sebuah webinar dengan tema “Cegah Stunting Untuk Generasi Emas Indonesia”. Dimana, Ibu Megawati tampil sebagai pembicara kunci atau Keynote Speaker.
Visi Indonesia Emas 2045 merupakan rencana jangka panjang pemrintah untuk generasi penerus. Pada tahun 2045 akan menjadi sebuah momen bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Pada tahun tersebut pula, Indonesia akan genap merdeka selama 100 tahun. Bertepatan pada lingkup waktu tersebut, Indonesia diprediksi akan memperoleh bonus demografi berupa 70% dari penduduknya berada di usia produktif.
Namun, jika bonus demografi ini tidak dimanfaatkan dengan baik, maka akan membawa dampak buruk pada negara. Pada Tahun 2021 Sulawesi Barat masih menjadi satu dari enam Provinsi dengan angka prevalensi stunting masih diatas 30 persen dan bersama dengan Provinsi Aceh dan NTT menjadi satu dari tiga Provinsi prevalensi stunting terbanyak. Dimana, Kabupaten Polewali Mandar menjadi kabupaten dengan kinerja terburuk dibidang ini, Polewali Mandar memiliki angka prevalensi stunting mencapai 36 persen. Artinya, dari seratus balita di Polewali Mandar 36 diantaranya mengalami sunting. Menurut kemantrian Kesehatan, Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan.
Dari sekian banyak persoalan di Negeri ini, stunting merupakan prioritas utama bangsa. Ini berarti, stunting merupakan masalah besar yang nantinya akan memberikan dampak jangka panjang bangi Negeri ini. Meskipun setiap tahunnya, stunting mengalami penurunan. Namun, apa yang dikatakan presiden kelima Indonesia Ibu Megawati Soekarno Putri “stunting seharusnya tidak ada di Negri ini bersama anemia”.
Bambang Brodjonegoro pada tahun 2018 lalu, saat masih menjabat Kepala Bappenas, mengatakan, stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi sebesar, 2 sampai 3 persen dari Produk Domestik Bruto per-Tahun, atau sebesar 388 trilliun rupiah. Lantas bagaimana kita mewalan stunting? Bagaimana menyelamatkan generasi emas tahun 2045?
Anemia Pada Remaja
Hal yang pertama harus kita ketahui adalah stunting tidak bisah disembuhkan, tapi bukan berarti ini tidak dapat di cegah, sala satunya dengan pencegahan anemia. Pada tanggal 10 dan 11 Mei 2022 nanti, pemerintah Provinsi Sulawesi Barat, diprakarsai PKK Sulawesi Barat secara serentak akan menggelar kegiatan minum tablet penambah darah berskala besar. Kegitan ini diharapakan dapat dapat diikuti seluruh remaja di wilayah Sulawesi Barat. Sekaligus diharapakan dapat memecahkan rekor MURI, mengapa anemia pada remaja menjadi penting? meskipun anemia bisa terjadi pada segala rentang usia. Namun anemia lebih rentan terjadi pada remaja.
Plt Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat drg. Kartini Rustandi, M. Kes dalam temu media virtual Hari Gizi Nasional ke-61 bertajuk “Remaja Sehat Bebas Anemia,” mengatakan, 3 dari 10 remaja mengalami anemia. Karena itu, kegagalan menurunkan anemia akan meningkatkan jumlah wanita yang rentan terhadap penurunan kesehatan secara umum dan gangguan perkembangan dan belajar pada generasi anak.
Remaja putri yang menderita anemia akan menjadi wanita usia subur yang anemia. Selanjutnya berpeluang menderita anemia saat hamil atau setelah menikah. Kondisi ini akan semakin buruk sebab pada saat hamil dibutuhkan gizi yang lebih banyak. Hal ini meningkatkan kemungkinan melahirkan bayi berat badan lahir rendah atau BBLR. Jika tidak ditangani akan berisiko terjadinya pendarahan saat persalinan dan akhirnya, melahirkan bayi stunting ataupun komplikasi saat melahirkan. Serta beberapa risiko terkait kehamilan lainnya.
Oleh karena itu dibutuhkan dukungan dari semua pihak untuk mengatasi persoalan stunting dan juga masalah kekurangan gizi termasuk anemia. Intervensi melalui sosialisasi dari tingkat sekolah harus dilakukan agar remaja Indonesia, khususnya remaja putri, memahami pentingnya menjaga asupan gizi untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik.
Tingginya angka Pernikahan Dini
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada 340 ribu anak Indonesia yang menikah setiap tahunnya. Ini menjadikan Indonesia menduduki urutan ketujuh sebagai Negara dengan angka pernikahan dini tertinggi di Dunia. Di Indonesia, Sulawesi Barat menjadi provinsi dengan angka pernikahan dini tertinggi. Dengan angka prevalensi perkawinan anak sebelum umur 18 tahun mencapai 34.2 persen. Sementara Polewali Mandar, menjadi Kabupaten pernikahan dini terbanyak di Indonesia.
Sebuah studi yang dirilis organisasi kesehatan dunia atau WHO menyebutkan pernikahan dini merupakan salah satu penyebab tingginya stunting di Indonesia. Sebesar 43,5 persen kasus stunting di Indonesia terjadi pada anak berumur di bawah tiga tahun (balita) dengan usia ibu 14-15 tahun. Sementara 22,4 persen dengan rentang usia 16-17 tahun. Ini artinya lebih dari 65 persen anak stunting diakibatkan karena pernikahan dini.
Lantas, apa hubungan antara stunting dengan pernikahan dini? Saat melakukan sebuah pernikahan, perempuan usia remaja secara psikologis belumlah matang serta belum memiliki pengetahuan cukup mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar. Hubungan lainnya, para remaja masih membutuhkan gizi maksimal hingga usia 21 tahun.
Nah, jika mereka sudah menikah pada usia remaja. Misalnya 15 atau 16 tahun, maka tubuh ibu akan berebut gizi dengan bayi yang dikandungnya. Jika nutrisi si ibu tidak mencukupi selama kehamilan, bayi akan lahir dengan berat badan rendah dan sangat berisiko terkena stunting. Selain itu pada wanita hamil di bawah usia 18 tahun, organ reproduksinya belum matang dan belum terbentuk sempurna. Sehingga berisiko tinggi mengganggu perkembangan janin dan bisa menyebabkan keguguran.
Pemberian Asi Eksklusif
Menurut rekomendasi WHO dan UNICEF,salah satu cara untuk mencegah stunting adalah pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif sampai bayi berumur enam bulan. ASI ekslusif artinya bayi tidak mendapat asupan lainnya selain ASI.
ASI mengandung gizi lengkap yang mudah dicerna oleh perut bayi yang kecil dan sensitif. Itulah mengapa, hanya memberikan ASI saja sudah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi di bawah usia enam bulan. Bahkan, risiko stunting ini dapat meningkat jika bayi menerima makanan pendamping ASI atau melepas ASI eksklusif terlalu dini.
Hal ini dikarenakan saat bayi mulai dikenalkan dengan makanan sebelum usia enam bulan, akan membuat bayi lebih tertarik dengan makanan tersebut dibandingkan ASI. Sehingga, bayi berpotensi kehilangan nutrisi penting yang terdapat pada ASI. Untuk itu, pemberian ASI eksklusif secara maksimal hingga usia bayi enam bulan menjadi salah satu cara mencegah stunting yang efektif. Dampak lain dari pemberian ASI Ekslusif adalah tumbuh kembang bayi lebih optimal dan tidak mudah sakit di masa pertumbuhannya kelak.
Faktor sanitasi dan LIngkungan
Persoalan stunting bukan hanya mengenai status gizi yang buruk, akan tetapi juga berkaitan dengan rantai kemiskinan, yang terus berlanjut apabila tidak segera di tangani. Sumber Daya Manusia yang digadang-gadang menjadi prioritas utama menjadi tidak berdaya saing apabila anak-anak Indonesia masih diselimuti permasalahan stunting. Bonus demografi yang diprediksi akan terjadi di tahun 2045 nanti juga akan sia-sia atau malah akan menjadi bencana apabila generasi muda bangsa masih mengalami stunting.
Meski terus mengalami perbaikan dari sektor kemiskinan dan secara sah keluar dari kategori daerah tertinggal. Berdasarkan data BKKBN provinsi Sulawesi Barat, keluarga Pra-Sejahtra di kabupaten Polewali Mandar masih berada di angka 29 persen dari total 31.393 keluarga pra-sejahtera di Sulawesi Barat, atau mencapai 9.180. Disamping itu, lebih dari 280 Ha wilayah pemukiman kabupaten Polewali Mandar masih merupakan kawasan kumuh. Dimana, lebih dari 11ribu penduduknya masih kesulitan mengakses Air Bersih.
Selain itu, di provinsi Sulawesi Barat, Polewali Mandar merupakan daerah dengan ketersediaan jamban terendah. Sebanyak 12.547 keluarga di kabupaten Polewali Mandar masih menggunakan jamban yang tidak layak, dan 26.359 keluarga di Polewali Mandar, memiliki rumah yang tidak layak huni.
Dengan kondisi demikian sebanyak 54.811 keluarga di kabupaten Polewali Mandar, diperkirakan beresiko besar akan melahirkan generasi yang stunting. Meski terus berbenah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan jangka pendek. Seperti, memberikan bantuan sosial Program Keluarga Harapak atau PKH ke 29.642 keluarga, dan 38.225 penerima Bantuan Pangan Non Tunai atau Sembako. Hal ini tentu saja tidak serta merta dapat menurunkan stunting atau menghapus suntuk dari Indonesia seperti kata Presiden kelima Ibu Megwati soekarno Putri.
Upaya Penanganan Stunting
Setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan agar persoalan stunting dapat benar-benar diselesaikan yang pertama intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik ditujukan kepada remaja untuk mencegah anemia. Seperti upaya yang akan dilakukan PKK Provinsi Sulawesi Barat, pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil, serta mendorong pemberian ASI eksklusif.
Sedangkan intervensi gizi sensitif dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan. Misalnya, menyediakan bantuan dan jaminan sosial pada keluarga miskin seperti, program-programa bantuan langsung ke masyarakat. Selain itu keterlibatan semua pihak menjadi kunci penurunan stunting dan sebagai upaya menyelamatkan generasi emas indonesi tahun 2045 kelak.
Terlebih sampai pada 31 desember tahun 2022 ini diprediksi Polewali Mandar akan terjadi kelahiran lebih dari 9.000 bayi. Mari bersama-sama membayangkan dari 9.000 bayi yang akan lahir, apabila 38 persen diantaranya merupakan balita stunting!. Bukannya menjadi bonus demografi tapi akan terjadi bencana demografi skala besar. Mari berkontribusi untuk menyelamatkan masa depan bangsa.[*]