Dalam keragaman budaya Nusantara, tradisi Suku Pattae yang berasal dari Sulawesi Barat memiliki keunikan tersendiri. Salah satu ritual sakral mereka, yaitu “Mimmala Matamba Bulung”.
Ritual tersebut hinga kini masih tetap dilestarikan oleh masyarakat khususnya warga Desa Kaleok, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar.
Penelitian Nikolas, Abdul Muttalib, dan Sulihin Asis dalam Journal Peqguruang (Vol. 3, No. 2, 2021) mengungkapkan analisis simbolik di balik ritual “Mimmala Matamba Bulung” dengan metode kajian semiotika Ferdinand de Saussure.
Ritual ini merupakan warisan leluhur yang masyarakat Kaleok yakini dapat membawa keberkahan, melindungi dari roh jahat, dan menjaga keseimbangan alam.
Pada pelaksanaannya terkait erat dengan kehidupan agraris masyarakat setempat. Ritual ini dipandang sebagai cara spiritual untuk memohon kesuburan tanah kepada Sang Pencipta, terutama di tengah tantangan bencana alam.
Simbol-simbol pelaksanaan Ritual Mimmala Matamba Bulung
Tradisi ini kaya akan simbol-simbol yang sarat makna. Sebanyak 22 penggunaan objek penting dalam prosesi ritual, mulai dari ayam jantan berwarna merah, daun aren, hingga tempat pemujaan seperti balayuk. Setiap objek memiliki fungsi khusus sebagai sarana persembahan kepada para dewa pelindung.
Berikut ini beberapa simbol utama dalam ritual Mimmala Matamba Bulung, yaitu:
- Ayam Jantan Berbulu Merah (Manuk Londong Bulu Malea Letek Foam): symbol ini sebagai bentuk persembahan kepada dewa sebagai lambang keberanian dan perlindungan.
- Bombong (Daun Pohon Aren) sebagai media doa yang tergantung di area pertanian, sumber air, dan rumah untuk membawa keberkahan.
- Kaleleh (Ketupat Khas Pattae), symbol ini melambangkan hubungan timbal balik antara manusia dan dewa, berupa janji persembahan untuk kesejahteraan.
- Balayuk, sebagai tempat pemujaan yang menjadi pusat prosesi ritual.
- Tagalak (Batang Pohon) sebagai simbol penghubung antara manusia dan para dewa, khususnya saat menyembelih ayam sebagai persembahan.
Selain aspek spiritual, ritual Mimmala Matamba Bulung juga berfungsi sebagai sarana mempererat solidaritas sosial.
Masyarakat bergotong royong dalam mempersiapkan bahan-bahan, lokasi, hingga pelaksanaan ritual. Tradisi ini mengajarkan nilai-nilai kebersamaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Namun, seiring perkembangan zaman pelestarian budaya ini menghadirkan tantangan bagi keberlanjutan ritual. Sebagian generasi muda kini mulai kurang memahami simbolisme dan makna mendalam di balik tradisi ini. Peneliti menekankan pentingnya upaya edukasi agar tradisi Mimmala Matamba Bulung tidak punah.
Ritual ini bukan sekadar serangkaian upacara adat, tetapi juga ekspresi identitas budaya dan spiritual Suku Pattae.
Melalui hasil studi ini, harapannya, masyarakat luas dapat lebih memahami dan menghargai kearifan lokal yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah dan kehidupan komunitas Pattae.
Artikel ini menegaskan pelestarian budaya membutuhkan kesadaran kolektif, khususnya di tengah arus modernisasi yang kerap mengikis tradisi-tradisi lokal.[*]
Sumber: journal.lppm-unasman.ac.id*