Akses utama jalan menuju Desa Kunyi, membuat batin bergejolak. Ah, serasa bergetar, jantung berdegup dag dig dug, aku tak lagi sedang jatuh cinta atau kasmaran. Perasaan ketakutan, was-was muncul tiba-tiba, saat melintas di Jembatan Kurri-kurri Anreapi, Kecamatan Anreapi, Kabupaten Polman, Provinsi Sulawesi Barat.
Seringkali melewati Jembatan Kurri-kurri Anreapi, selalu saja disambut dengan perasaan sama, yah sepeda motor langsung tancap gas, hingga melewati jembatan tersebut, nafas lega, menghela nafas panjang, jika berhasil melalui jembatan dengan selamat.
Nampak kondisi jembatan memburuk, retakan aspal, pondasi jembatan pun sudah ada yang terjatuh ke sungai karena patah, penyangga jembatan mulai rusak. Jangan ditanya setiap saat, jembatan semakin menurun, tidak rata lagi seperti semula.
Beban sudah tidak mampu dipikul oleh Jembatan Kurri-kurri, mobil, sepeda motor haruslah hati-hati jika melintas. Siap-siap saja pegang gas, dan injak gasnya, terus tancap kencang.
Lalu sampai kapan rasa takut terus menghantui, jika sementara melintas di tengah jembatan, dan tiba-tiba ambruk, maka selesailah kita. Jangan sampai terjadi korban, kesadaran datang terlambat, dan kata menyesal pun hadir di antara kepingan duka.
Tebing curam menjadi pelengkap rasa takut, apatah lagi di bawah jembatan ada aliran sungai mengalir, bebatuan besar dan tajam. Sungguh ini sangat mengerikan, tidak kalah mengerikannya dengan virus Covid-19.
Jika akses utama ke Desa Kunyi ini terputus, maka tujuh dusun akan lumpuh, yaitu Dusun Buangin, Dusun Kunyi, Dusun Rarekan, Dusun Tappang, Dusun Cendana, Dusun Bendang, dan Dusun Tondok Bakaru.
Hasil perkebunan dan persawahan warga akan dijual kemana, roda perekonomian akan terganggu, ada berapa banyak pelajar dan mahasiswa yang merasakan dampaknya. Para pekerja bekerja di luar Desa Kunyi, tentu mereka sangat merasakan, apabila jembatan ini roboh.
Petani dari luar yang memiliki lahan di Desa Kunyi, akan merasakan pula, sebab jembatan adalah urat nadi penyambung kehidupan mereka. Lalu ini tanggung jawab siapa, jangan sampai kita menyesal, semoga saja tidak terjadi korban.
Kerawanan Jembatan Kurri-kurri ibarat pasien corona, sudah kehilangan stamina. Butuh diberi kekuatan dengan pembenahan, renovasi agar kuat dan kokoh kembali.
Urusan jembatan, yah urusan perut, lumbung penghidupan, perekonomian akan lancar saat akses mobilisasi, akses transportasi lancar. Nah, kalau Jembatan Kurri-kurri terputus, maka kita bisa membayangkan, efek sosialnya dan segala sektor akan terhambat.
“Jembatan ini sangat berbahaya, apalagi jika dilalui kendaraan roda empat. Saya khawatir sekali, karena sudah menurun terus ini jembatan. Menggunakan sepeda motor saja, kita sangat perlu hati-hati,” ungkap Rahman, petani yang melintas menuju kebunnya.
Nampak arus lalu-lalang warga begitu ramai setiap harinya, apatah lagi pagi hari, pengguna jembatan semakin banyak. Lalu kemana kita mengadu?.
“Jembatan ini pondasinya sudah ada yang jatuh, coba lihat talu’nya itu, sudah jatuh juga ke bawah, jelas sangat berbahaya, harapan kami. Semoga pemerintah segera terjun memperbaiki jembatan ini. Kalau tidak, kasihan kami pekerja kebun. Sebab, tidak ada jalan lain, ini jalan utama, sebagai jembatan penghubung. Kasihan juga dusun-dusun di Desa Kunyi mereka mau lewat mana lagi, jika jembatan terputus,” ungkap Bapak Pion penuh harap.
Semoga keresahan Bapak Pion, dapat menjadi pion-pion perubahan, hingga menjadi buah kesadaran kolektif, kekuatan bahu-membahu terjalin erat, dan harapan besar agar pemerintah hadir, negara hadir melihat jeritan realita ini.
Jembatan Kurri-kurri bertahanlah dari segala patahan, sisa-sisa tubuhmu telah terkikis, patah, dan retak. Semoga akan hadir segera tangan-tangan empati.
Yah jembatan bukan sebatas menjadi penanda rindu bagi para muda-mudi, bukan sebatas penanda jarak, namun jembatan adalah urat nadi sumbu kehidupan, untuk kehidupan manusia.[*]