Perempuan Masih Terpenjara oleh Budaya Patriarki

"Perempuan Masih Terpenjara Budaya Patriarki"
Karmila Bakri, Penulis "Perempuan Masih Terpenjara Budaya Patriarki"

Sering kali kita mendengar kata-kata, ketika ada seorang anak laki-laki menangis ataukah sedang bermain masak-masak, bersama teman perempuannya. “Eh, kau ini ibarat perempuan saja”. Saat melihat anak laki-laki menangis muncul komentar “Masa laki-laki cengeng, gampang menangis”. Ujaran pada kesempatan lain muncul “Masa laki-laki baper”, ” Ah…ini terlalu pake perasaan, nda cocok buat laki-laki”, “nda mungkin laki-laki yang manja”, “jangan lemah, kamukan laki-laki” dan lain sebagainya.

Ungkapan seperti ini sering kita jumpai, dan bisa jadi kita pernah mengalaminya. Seolah-olah laki-laki itu tidak boleh menangis, tidak boleh memasak. Nah, ini adalah benih-benih budaya patriarki yang disemai, hingga tertanam sejak usia anak.

Konstruksi berpikir sudah dicekoki lebih awal bahwa laki-laki dan perempuan berbeda peran. Hal ini sudah mulai diadopsi sejak berada di ruang lingkup keluarga.

Kesadaran akan kesetaraan gender harusnya sudah tertanam di ruang lingkup keluarga. Kerja-kerja domestik seperti memasak dan cuci piring adalah tanggung jawab laki-laki juga. Contoh sederhana ketika ibu sakit dan saudara perempuan kita lagi tidak ada di rumah. Kita bisa bayangkan bagaimana repotnya, jika laki-laki tidak pandai memasak.

Tentu berbeda lagi dengan konteks lingkungan keluarga yang memiliki pembantu rumah tangga.

Satu lagi terkadang kita mendengar ungkapan “Suara suami adalah suara Tuhan”. Nah, inikan lucu ketika kita menganggap suara suami adalah suara Tuhan. Lantas landasan kuat apa yang membenarkan ungkapan ini. Terlalu lancang kita mengancam, mengungkung perempuan atas dasar membawa-bawa nama Tuhan.

Bukankah semua ajaran agama mengajarkan kita untuk saling memanusiakan, tanpa memperbudak salah satu jenis kelamin, membeda-bedakan atas dasar orientasi seksual.

Menjamurnya kasus KDRT, kekerasan seksual, serta kasus-kasus perempuan dan anak menjadi fenomena yang terpampang jelas mengisi beranda media sosial.

Batin teriris melihat ketimpangan ini. Harus berapa banyak lagi anak-anak Indonesia yang menjadi korban kebejatan nafsu para oknum.

Ataukah kita hanya butuh saling mentafakkuri penyembahan kita kepada Tuhan, sesuai agama, dan mazhab masing-masing. Berlomba-lomba ke syurga, hingga melupakan ibadah sosial kita.

Yah, nafsu-nafsu amarah pun memanas dengan dalih agama, saling menjagokan argumen seolah kita sudah menelisik ke akar dan mumpuni ilmu agama.

Aku pun hanya sebatas ngoceh, sebab aku pun masih kering persoalan ilmu agama, apalagi pendalaman kitab. Sebatas mengingat-ingat pesan guruku, bahwa jangan berhenti membaca buku, membaca alam, membaca manusianya agar kita mampu bijak memperlakukannya.

Keberanian bukan terlihat dari otot, apatah lagi jenis kelamin. Namun seberapa mampu kita menyikapi persoalan dengan akal pikiran jernih, bukan diakal-akali berbungkus kemarahan.

Wow, desain link twibbon-twibbon menarik, seraya mengetuk hati netizen, ada momentum hari perempuan internasional, tepatnya 8 Maret 2022. Bertuliskan pula Sahkan RUU PKS Pro korban.

Rancangan undang-undang yang masih menjadi tuntutan, para pejuang hak-hak perempuan dan anak. Tak kunjung disahkan sampai saat ini.

Yah, setidaknya di bulan Maret ini, merupakan salah satu titik monumental untuk gerakan perjuangan perempuan yang ditandai pada Hari Perempuan Internasional, guna mengingatkan kembali mengenai diri kita, merayakan nya tentu sebagai refleksi, bahwa perempuan harus sadar secara akal sehat, perempuan memiliki hak-hak sebagai manusia, bukan objek apatah lagi budak.

Selamat hari perempuan internasional, wahai perempuan-perempuan hebat se-Nusantara. Daku hanya mau mengatakan, mari kita membenahi pola pikir yang tadinya ter hegemoni di zona nyaman, hingga lupa menajamkan nalar. Sungguh kemerdekaan berpikir adalah alat pertama, agar kita mampu melakukan pembebasan dari segala bentuk penindasan.

Aku pun membuka-buka beranda Medsos, sambil seruput kopi di ruang tamu, mataku tertuju pada berita, dari salah satu portal online, tertulis di judul beritanya, “Diduga Lakukan Asusila Anak Dibawah Umur, Oknum Kades ini Terancam Dipolisikan.”.[*]

Written by Karmila Bakri

Perempuan petualang_perakit kata, Karmila Bakri, asal dari Polman_Sulawesi Barat. Lahir di Dara 19 agustus 1985, bergelut di media online Pattae.Com. Aktif di komunitas literasi Blantara, bergerak juga di kegiatan sosial, pendampingan perempuan, lansia dan difabel.
Ayo baca alam, baca manusianya, agar kita mampu bijak memperlakukannya!