Sampah, bagi sebagian orang, menganggap hanya sebagai sisa yang tak lagi berguna. Namun, realitanya, pengelolaan sampah yang buruk dapat membawa dampak negatif yang serius, baik bagi lingkungan, kesehatan, maupun kehidupan sosial masyarakat.
Ketika bermain-main dengan sampah mengabaikan tanggung jawab atas pengelolaannya dengan benar, maka akan menciptakan masalah berkepanjangan yang memicu krugian banyak pihak.
Belajar dari kasus sampah di kabupaten Polewali Mandar yang hingga saat ini belum menemuka solusi tepat terkait penanganan sampah.
Memulai program pengelolaan sampah demi mengejar status daerah adipura, kini menuai masalah berkepanjangan. Polewali Mandar kini alami kesulitan keluar dari krisis pengelolaan sampah.
Sudah empat tahun sejak penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Paku, Polewali Mandar (Polman) bergulat dengan krisis sampah yang kian memburuk.
Tanpa solusi permanen, tumpukan sampah telah mencapai angka mengejutkan, yakni 54.000 ton. Penutupan TPA ini memicu kebuntuan baik di tingkat pemerintah daerah maupun masyarakat.
Dilema antara ancaman hukum dan tanggung jawab sosial menjadi tembok besar yang harus dihadapi.
Belum lagi adanya dampak lingkungan dan sosial yang mengkhawatirkan akibat tidak adanya fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, limbah rumah tangga dan sampah komersial kini menyebar ke berbagai sudut kota.
Dari halaman rumah hingga area publik seperti pasar-pasar tradisional hingga kantor pemerintahan, tumpukan sampah menjadi pemandangan sehari-hari.
Polman, yang sebelumnya terkenal sebagai wilayah agraris dan pusat perdagangan lokal, kini terancam berubah menjadi “lautan sampah”.
Kerusakan lingkungan bukanlah satu-satunya masalah. Sampah yang menumpuk meningkatkan risiko penyakit seperti infeksi pernapasan, diare, dan demam berdarah.
Polusi udara akibat bau menyengat juga memperburuk kualitas hidup masyarakat. Dari sisi ekonomi, pasar-pasar tradisional mengalami penurunan aktivitas karena pembeli enggan berbelanja di tengah lingkungan yang tidak sehat.
Pemerintah Harus Belajar dari Kesalahan
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Polman, saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat di ruang Aspirasi Kanto DPRD Polman, mengakui pemerintah dalam mengatasi sampah, kini menghadapi jalan buntu.
Penutupan TPA Paku (wilyah Binuang) berlangsung atas dasar hukum, tetapi absennya alternatif yang memadai membuat sampah menjadi persoalan tak terselesaikan.
Meski penerapan langkah darurat seperti, membuat tempat pembuangan sementara telah dilakukan. Solusi ini jelas tidak ideal lantaran memakai metode “gali lobang tutup lobang”.
Pemerintah juga menghadapi resistensi dari masyarakat terkait pembangunan TPA Satoko yang peruntukannya sebagai tempat pengolahan sampah terpadu.
Ketakutan masyarakat terhadap dampak lingkungan dan kenyamanan menjadi tantangan besar yang harus teratasi segera mungkin.
Krisis ini menyoroti kelemahan mendasar dalam sistem pengelolaan sampah Polman. Ketergantungan pada TPA tunggal tanpa memikirkan diversifikasi, metode pengolahan menjadi akar masalah.
Saat ini, Polman sangat membutuhkan kebijakan berbasis teknologi modern seperti daur ulang, pengomposan, dan konversi sampah menjadi energi.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah secara mandiri menjadi krusial.
Pemerintah dapat menggandeng komunitas lokal dan organisasi non-pemerintah untuk menciptakan kampanye lingkungan yang masif dan berkelanjutan.
Kasus Polman adalah gambaran nyata bagaimana kelalaian dalam merencanakan pengelolaan sampah bisa berdampak luas. Penutupan TPA tanpa strategi alternatif adalah kesalahan yang seharusnya tidak terjadi.
Jika pemerintah dan masyarakat tidak segera berkolaborasi untuk menemukan solusi berkelanjutan, Polman akan terus bergulat dengan krisis yang mengancam kesehatan, ekonomi, dan lingkungan.
Ke depan, rencana pembangunan TPA Satoko harus di dukung dengan pendekatan transparan dan komunikasi yang intens dengan masyarakat untuk memastikan solusi ini benar-benar efektif dan dapat diterima.
Krisis sampah Polman adalah panggilan darurat bagi semua pihak untuk bertindak. Pemerintah harus mengambil langkah strategis yang melibatkan teknologi modern, regulasi yang jelas, serta partisipasi aktif masyarakat.
Jika tidak, mimpi menjadikan Polman bebas dari “lautan sampah” akan tetap menjadi angan belaka.[*]