Sayyang Pattu’du’, Tradisi dan Euforia Festival, Lalu Apa?
Ditulis oleh: Irwan Syamsir (Alumnus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman)*
Baru-baru ini Polman dihebohkan dengan Festival Sayyang Pattu’du’ tahun 2022 yang menghadirkan 175 kuda 1800 orang peserta yang menjadi pesarung dan penunggangnya.
Festival ini ternyata mendapat respons yang cukup ramai di publik dan beragam komentar di kanal-kanal media sosial. Sayangnya, tidak semua tertanggapi dengan serius. Kadang berlalu begitu saja, atau sekadar cuitan biasa yang hanya menjadi riak-riak.
Rata-rata komentar yang muncul didominasi oleh masyarakat Sulbar dan masyarakat Polewali Mandar sendiri. Salah satu hal yang paling dihebohkan adalah antara persoalan kecantikan dengan Totamma’ Mangaji atau tamat mengaji.
Menafsir Kecantikan dan Totamma’ Mangaji
Kecantikan sesungguhnya adalah sesuatu yang relatif, artinya tidak ada yang betul-betul bisa kita ukur. Tetapi apakah kecantikan tak bisa dinilai kolektif? Tentu saja bisa. Di sinilah peran kebudayaan.
Tiap daerah mengonsepsi kecantikan masyarakat di daerahnya yang dalam hal ini berarti positif, bukan hanya secara fisik, tetapi juga nilai.
Di Mandar, ada metafora yang di konsepsi masyarakat untuk perempuan Mandar, ada yang disebut Beru-beru’, Pandeng, Tipalayo, dan Lindo-lindo Mariri. Beru-beru’ misalnya, ia berarti bunga melati. Secara fisik, bunga melati itu indah. Ia identik dengan wangi yang semerbak.
Wangi semerbak inilah yang ditafsir sebagai, tutur, perilaku, atau sikap yang lebih penting dimiliki oleh seorang perempuan Mandar, agar mendapat simpati yang baik dari banyak orang dan itulah yang harus selalu dijaga.
Selanjutnya, totamma’ mangaji. Lazimnya, Sayyang Pattu’du’ diadakan di musim maulid nabi Muhammad atau bulan Rabiul. Biasanya juga untuk pernikahan dan hajatan lainnya. Mappatamma’ atau menamatkan adalah rangkaian utama sejarah awal Sayyang Pattu’du’.
Anak-anak yang telah khatam Quran akan diarak keliling kampung dengan naik kuda sebagai hadiah dari orang tua. Visi tamma’ mangaji adalah anak-anak bisa mempertanggungjawabkan prosesnya selama belajar mengaji. Tetapi apakah dengan bisa membaca quran dengan baik sudah cukup disebut dengan totamma’ mangaji? Atau sebagai satu ciri seorang Mandar?
Saat anak-anak menamatakan Quran, tamma’ mangaji bisa kita artikan tamat fisik, namun ketika dewasa, tamma’ mangaji sudah harus ditafsir lebih ke implementasi dalam kehidupan sehari-hari.
Ini kita bisa hubungkan kesatu konsepsi kecantikan perempuan Mandar. Bahwa cantik itu juga soal tamma’ mangaji dalam hal ini berpengetahuan luas, memahami agama dan kebudayaan sendiri yang erat dengan nilai-nilai, dan bisa mengimplementasikan tutur, perilaku dan sikap yang diajarkan tetua.
Dengan ini, masyarakat kita takkan diributkan lagi dengan penilaian lepas soal kecantikan saat para perempuan Mandar naik kuda.
Tentu saja ini mesti disiapkan. Missal, melakukan seleksi lebih awal sebelum adakan festival, dengan menghadirkan para peserta, untuk menampilkan wawasan pengetahuan mereka tentang Mandar, kebudayaan dll sebagai syarat untuk naik kuda.
Pemerintah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Pariwisata
Festival Sayyang Pattu’du’ mungkin kebanggaan bagi pemerintah. Meskipun tentu saja yang perhelatan yang asli, hanya bisa kita saksikan di kampung-kampung saat musim maulid, di mana masyarakat secara independen benar-benar siap baik raga maupun materi untuk menyambut banyak tamu yang datang.
Tetapi, kita juga turut mengapresiasi pemerintah menyelenggarakan ini untuk memperkenalkan Sayyang Pattu’du’ di lingkup urban kota, yang bisa menjadi pengantar awal menyaksikan tradisi ini.
Jika pemerintah serius terhadap Sayyang Pattu’du’, harus mengapresiasi semua yang berhubungan dengan tradisi ini. Pemerintah harus mengapresasi guru-guru ngaji di kampung, memberi mereka tunjangan, dan juga semacam penghargaan terhadap anak-anak yang tamat setiap tahunnya.
Mengapresiasi para pemelihara kuda, untuk perawatan dan latihannya, kusir bendi yang mungkin pendapatannya tak seberapa di tengah masyarakat yang sudah memilih transport mesin.
Mengapresiasi transpuan-transpuan kita yang bekerja sebagai indo botting atau ahli make up dan pakaian setiap perhelatan kuda, namun sering di stigma macam-macam oleh masyarakat, sudah harusnya memberi mereka ruang agar mereka fokus hanya untuk itu.
Mengapresiasi Pessawe yang sudah ikut seleksi wawasan pengetahuan dan semua tim yang terlibat dalam setiap sayyang pattu’du’.
Tugas Dinas Pendidikan dan Kebudayaan adalah, menggencarakan edukasi tentang Sayyang Pattu’du’, memastikan sayyang pattu’du’, apakah benar-benar sudah diajarkan di bangku-bangku pendidikan terutama dalam pelajaran seni budaya, sebab jika tidak masyarakat kita akan krisis identitas akan kebudayaannya sendiri.
Mesti ada kebijakan bagi sekolah-sekolah atau kampus untuk sering mengadakan kelas-kelas kebudayaan, memanfaatkan para budayawan untuk mengajar dengan sistem profesional sebagai penghargaan untuk mereka.
Akhirnya, jika ini bisa dicapai, orang-orang luar akan memandang kebudayaan kita. Tidak hanya sebagai ikon pariwisata yang bisa jadi daya tarik. Tidak hanya menjadi tontonan namun, juga tuntunan yang bisa menjadi benteng identitas atau juga pencerahan bagi banyak orang.[*]
*Tulisan diatas juga pernah terbit pada Surat Kabar Radar Sulbar dengan Judul yang sama