Festival Saeyyang Pattuqduq, di Stadion H.S. Mengga. Senin, (23/5/2022). Tampak bertumpah ruah penonton mulai dari dalam stadion maupun di luar stadion, eh penonton via online juga tidak ketinggalan pula.
Wow sungguh memukau apresiasi netizen, di tengah-tengah lautan manusia, aku pun melihat sampah berserakan, yah sudah hukum sebab akibat, ada manusia berkumpul pasti ada sampah. Tinggal kesadaran manusia itu sendiri, mengamankan sampah masing-masing atau bodoh amat dengan membebankan kepada petugas kebersihan yang digaji oleh pemerintah.
Sementara masih hangat kasus TPA di daerah Polman belum final, namun apa hubungannya festival ini dengan sampah. Beberapa netizen pun terlihat memposting dan berkomentar sebagai bentuk kritikan ya. Seperti ini “Andaikan ada juga festival sampah, setiap kecamatan membawa sampahnya masing-masing dan ditumpuk di depan kantor daerah”
Sehari sebelum festival dimulai sudah ramai berserakan pula postingan mengingatkan agar sampah jangan dibuang sembarang tempat, namun tempatkanlah sampah pada tempatnya.
Tentu ini saran yang positif, tidak mesti ditanggapi negatif lagi ya, toh kita hidup di negara demokrasi, siapa pun berhak bersuara.
Perhelatan ini telah dihadiri oleh perwakilan badan dunia UNESCO. Saeyyang Pattuqduq silahkan dinilai langsung. Saeyyang Pattuqduq telah layak mendapatkan legitimasi sebagai warisan budaya dunia. Itu tentu hak kuasa beliau menilainya. Bukan hak aku yang hanya netizen medsos yang kadang usil melihat dari sudut pandang yang berbeda.
Terkenal di mata dunia tentu hal yang sangat membanggakan, turut angkat topi deh, tanah malaqbiq semoga bukan sekadar dimaknai simbolik. Namun ada nilai-nilai malaqbiq yang termanifestasi melalui laku diri pemerintah dan rakyatnya.
Apakah perempuan Malaqbiq disematkan kepada perempuan cantik dipoles dengan make up, perempuan pemberani naik menunggang kuda/Saeyyang Pattuqduq. Perempuan dengan hiasan baju adat cantik gemulai menari di atas kuda?.
Aku pun berani membuat postingan di dinding facebook, ratusan perempuan itu. Yah aku melihatnya hanya sebatas kontes kecantikan. Festival Saeyyang Pattuqduq telah usai mari kembali memaknai esensi Totamma’ Mangaji , hingga berkah mengalir untuk daerah kita tercinta.
Kata kawanku Fajrin founder Sufi’s Institute “Andaikan ratusan perempuan itu messawe sembari melantunkan ayat suci, hingga do’a dilangitkan untuk meneguk berkah, Pammase Puang “.
Lanjut kawanku pun berkomentar “Inti saeyyang pattuqduq ada pada nilai-nilai religiusitasnya dan ini adalah hadiah bagi orang-orang yang telah khatam Al-Qur’an,”.
Tidak lama kemudian ponakan laki-lakiku pun berkomentar apakah yang bisa naik kuda semuanya harus perempuan ya, kok tidak ada laki-laki?.
Nah, pada saat yang sama unggahan foto semasa usia anak berkuda, dia kawanku Habib Zahir Al Mahdaly anak dari Annanggurutta’ Habib Sayyid Jafar Thaha Al Mahdaly. Habib Zahir menunggangi kuda dengan memakai pakaian surban berdua dengan anak laki-laki dibelakangnya. Aku pun mengomentari dan mengatakan sungguh ini menampilkan dua nilai yang menguat: 1). Khataman Al-Quran, 2). Tradisi itu dipraktikkan tidak hanya untuk gender tertentu (perempuan), tetapi laki-laki pula.
Selang beberapa jam kemudian Kak Ridwan Alimuddin yang juga sebagai pemerhati budaya Mandar mengirimkanku file tulisannya yang berjudul “Tradisi Saeyyang Pattuqduq di Mandar dan Hipotesis Kemunculannya,”. Sembari membubuhi pesan “Supaya makin seru statusnya di FB,”.
Aku pun membalasnya, terima kasih kak, hehe Mila, siap mandarrasnya/mengkajinya. Ada pun konsep malaqbiq pun dikirimkan pula oleh Kak Ridwan, ini konsep penjabaran beliau:
Penjabaran konsep malaqbiq dalam sebuah kode etik, memuat tentang ; Malaqbiq pau (tuturan), Malaqbiq kedo (prilaku pribadi), dan Malaqbiq gauq (perilaku sosial).
Konsep Malaqbiq Pau;
To tammasuang kedo gauqna (orang yang tidak kaku berbuat dan bertindak).To tammenganganga sassabuarang (orang yang tidak kasar mulutnya). To tammalesei pura loa (orang yang memegang teguh perjanjian), dan To tammakeqla-keqla (tidak iri hati).
Konsep Malaqbiq Kedo;
- To mandandang mata di mamatana daung ayu, dimalimbonna rura, medinginna litaq, maaletutui saraq pekkeqdeanna agama. Maqaletutui di atepuanna paqbanuanna tau, (memberi perhatian terhadap ketersediaan pangan, amannya negeri, syariat agama, dan kesehatan rakyat).
- To tammarusaq allewuang (tidak merusak persatuan)
- To maqayasanni paqbanua (menyayangi rakyat)
- To tammarrappa atonang (tidak mengambil hak orang lain)
konsep Malaqbiq Gauq;
- To tamballang mata (tidak berkhianat)
- To tammmapinra amemangang (tidak mengubah
kebiasaan yang baik). - To mellete di atongangang (berjalan di atas kebenaran).
- To tammaimbaqi api tue (tidak memprovokasi
perpecahan). - To maqissang bayang ri lau (memahami aturan kosmos)
- To marakkeq di puang (takut pada tuhan).
- To mappatumballeq litaq (orang yang menyelamatkan
negeri.
Semoga festival Saeyyang Pattuqduq dikenal di Mata Dunia dan kita yang ada di Polewali Mandar tidak kehilangan pengetahuan akar sejarah sampai di lapisan generasi. Sebab tradisi kebudayaan tidak bisa terlepas oleh nilai-nilai yang mengikatnya agar tidak kehilangan ruh.
Seperti apa esensi Saeyyang Pattuqduq? Apa makna aksesoris busana perempuan Pattuqduq Towaine, berupa kalung koin emas menghiasi leher, serta gallang balleq berupa gelang di kedua pergelangan tangan. Terlihat pula busana dilengkapi dengan sebuah hiasan berbentuk bunga dan juga sanggulan bentuk bunga melingkari sanggulan dan berwarna emas.
Hal ini tentu harus dipahamkan kepada generasi agar tidak sekadar melihat perempuan cantik berbaju adat. Tidak pula serta merta dangkal memahami konsep malaqbiq.[*]