Lucu juga ya, awal pertama kali dengar kata “Akamsi”. di otakku mengira, semacam komunitas bentukan birokrasi desa. Padahal, Akamsi itu lahir dari lingkaran-lingkaran ngopi pemuda kampung Desa Baloli.
Hari kamis 23 Juli 2020,kami ngecamp berenam, ada Heriana dari Akamsi ikut kami culik, menikmati suasana di tengah-tengah pengungsian.
Benar apa yang dikatakan pemuda Desa Baloli. Bahwasanya, di tempat pengungsian logistik sudah tercukupi lebih, tampak kami saksikan logistik sudah jadi dinding di tenda-tenda pengungsian.
Tenda-tenda dari lembaga sosial, posko-posko relawan pun tidak kalah ramainya. Ada pun posisi tenda kami berada tepat di samping musala yang dibuat oleh kawan mahasiswa pasca IAIN Palopo.
Rasa pilu dan sedih melihat tenda-tenda pengungsian, wajah-wajah kehilangan terpancar, namun semangat ketabahan begitu kuat.
Malam Jum’at di puncak pengungsian Meli diguyur hujan. Tenda kami pun kemasukan air. Namun, membaur dalam suasana, kami teguk buah pembelajaran.
Azan subuh terdengar di balik tenda, beberapa pengungsi bergegas berjamaah. Selepas shalat subuh menyempatkan diri mendengar cerita Uwa’ di dalam Musala.
Ada Pak Salman yah, usianya sudah senja namun masih energik bercerita, panggilan sapaan orang-orang tua di sana adalah Uwa’.
“Alhamdulillah korban jiwa tidak ada di Desa Meli. Namun kurang lebih 30 rumah habis tersapu air, tetapi yang terdampak rumah-rumah warga banyak, karena terendam lumpur,” ungkap Uwa’ Salman.