Suara gemercik aliran sungai memantik raga untuk jeda sejenak, hampir setiap hari jembatan yang sedikit menukik ini aku lalui, kebetulan lintasan jalan menuju tempatku mengajar sebagai tenaga pendidik di salah satu Madrasah Tsanawiyah.
Hiasan baliho para calon pemimpin dan para calon wakil rakyat dengan gagah dan kerennya senantiasa menyapa aku dengan tagline-tagline perjuangan untuk rakyat,tagline bernuansa merakyat semoga tidak hanya seolah-olah merakyat, bagaikan manusia-manusia langit mampu merubah segala problem sosial di akar rumput, dengan kantong ajaibnya mirip cerita film kartun Doraemon.
Apakah memang realitas alam kadang harus dibiarkan begitu saja, atau dinas terkait harus turun gunung memberikan solusi. Tidak berlebihan mungkin jika aku mencolek Balai Wilayah Sungai Sulawesi III Palu yang mana sungai-sungai di Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat masuk dalam zona kerjanya.
Jariku pun serasa ingin mencolek semua stakeholder untuk turut andil memberikan solusi. Sebab sawah ini terkait dengan “perut”. Jeritan rakyat jelas akan terngiang lebih gemuruh lagi saat lumbung penghidupan tereksploitasi akibat kurang cepatnya manusia mengambil tindakan pemecahan masalah.
Sawah-sawah di bentaran Sungai di Lingkungan Lebani, Kelurahan Anreapi, Kecamatan Anreapi, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat ini. Jika curah hujan tinggi tanahnya terus tergerus. Apatah lagi banjir meluap maka arus sungai mengikis dengan ganasnya, dan sawah pun lambat laun akan habis hanyut terbawa arus sungai. Apakah kita serta merta menyalahkan alam?.
Yah, rasa empatiku selalu terusik kala melintas di atas jembatan Lebani, lokasi ini bertetangga dengan Kantor Kecamatan Anreapi, Puskesmas Anreapi dan persis berhadapan dengan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Anreapi.
Hari demi hari semakin luas tanah sawah terkikis. Dapat terbayangkan jika tidak ada penyanggah yang kuat segera dibangun untuk menahan hantaman arus sungai. Maka diprediksi tahun-tahun ke depan bukan hanya persawahan yang habis tergerus hingga hanyut. Namun kantor layanan publik yang bertetangga dengan sawah-sawah ini akan berdampak buruk.
Aku memandang dengan memakai kacamata sederhana. Coretan sederhana ini semoga mampu menggugah rasa cinta untuk terus memperlakukan alam secara bijak. Menyentuh dengan manusiawi agar tidak ada luka-luka baru yang muncul ke depannya.
Kerusakan alam bisa menjadi satu di antara cara untuk menggugah kesadaran kita sebagai manusia terhadap pentingnya hidup harmonis dan seimbang dengan alam.
Maha Semesta yang begitu kaya memberikan banyak hal bagi kehidupan semua makhluk. Namun terkadang kebiasaan dan pola hidup yang berprinsip bodoh amat. Justru kerap memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan di mana kita tinggal.
Jika alam telah murka, manusia tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Mungkin hanya dapat berpasrah sembari meneteskan air mata, berdoa, dan memohon ampunan atas keserakahannya.
Demi anak cucu ke depan demi keberlangsungan hidup manusia, ketika kita berkoar-koar tentang revolusi. Berkoar-koar tentang kesehatan dan kesejahteraan itu bermula dari perut. Jika lumbung padi kering maka rakyat tidak akan sehat dan terlebih kesejahteraan hanyalah menjadi slogan semata.
Esensi kerusakan alam bukan terjadi pada kita, tapi karena ulah kita sebagai manusia, dan menjaga lingkungan bukan hanya angan-angan. Tapi dibutuhkan tindakan nyata. Pembiaran sungai Lebani Anreapi adalah bagian dari lamban nya pemangku kebijakan memberikan solusi.
Sepenggal kalimat kutorehkan buat tanah Malaqbi’ku. Gemercik sungai Lebani Anreapi meraung untuk disentuh, bukan sekadar di pandang dan dinikmati kesejukan airnya. Keringat petani telah bercucuran hingga setiap hari menyaksikan satu dua hingga tiga petak ludes terbawa arus sungai.
Ngomong perubahan tanpa aksi bagaikan menulis di atas air. Kita sama memahami bahwa manusia dan alam butuh keseimbangan?.
Teruslah membaca alam, membaca manusianya agar kita mampu bijak memperlakukannya. Jangan lelah membumikan cinta, sebab kita bukan manusia langit apatah lagi Si Kantong Ajaib Doraemon.[*]