Tentang Rasa: Geliat waktu menyaksikan tapak kaki, berjalan terus hingga menjumpai beberapa rasa, dia yang hadir menjadi jawaban atas mimpi, ataukah hanya sekadar singgah bersiul, memetik senar gitar, melantunkan lagu romantis nan melankolis, kemudian berlalu.
Alunan imajinasi membumbung ke langit, terbangkan kata-kata menepis tingginya gunung, melewati tebing-tebing curam, berjuang meyakinkan atas segala ingin.
Keakuan menggunung, dan merendah bagai tebing curam, tak butuh rasa berlebih, keakuan-keakuan itu terasa masih merajai jiwa.
Terlalu berlebih mengagungkan dan merendahkan diri itu bahaya, cukup sederhana saja bersikap, terkadang ketidakseimbangan membuat hati terhijab, akal menjadi lemah, dikalahkan oleh dengkul.
Kau menarikku dalam masa lalumu, aku menyaksikan kedua belah bibir itu berkata-kata, kumis tipis menjadi saksi, tak bisa dipungkiri, senyuman manis terpancar, cukup memesrai dalam diam, tanpa pula hasrat membuncah berlebih, hingga liar kemana-mana sampai lupa jalan pulang.
Yah, aku telah menjadi penyimak yang baik. Rentetan jejak tertorehkan, apakah masa lalu, semuanya harus termuntahkan, sudahlah jangan lagi habiskan waktu dengan irama diksi-diksi, cukup rekaman diri di masa lalu menjadi guru, tetaplah semangat memulai kehidupan baru, teguklah masa depan.
Cukup kita akhiri percakapan, sungguh ini membuat jiwa terbang tanpa sayap, adakah cinta di luar ikatan pernikahan?, Ah sudahlah biarkan semesta mengatur, Tuhan juga tidak akan memaksa, dan menuntut kita buru-buru kan?.
Ada masanya kok, bukan pula menafikan ikhtiar, segelumit asa bisa terwujud tanpa harus terpoleskan manisnya kata-kata. Penting melatih diri, banyak-banyak berterima kasih terhadap Sang Waktu, berjalan hingga Tuhan mengetuk di garis finish. Silahkan memasuki rumah cinta, tegukan ilmu menjadi piranti, mengukuhkan sabda sakinah mawaddah warahmah.
Tak terasa asap knalpot mobil lelaki itu berlalu, senja pun pelan-pelan terbenam, pergantian waktu menandakan, kita harus siap menghadapi pergeseran antara terang siang menuju gelapnya malam, dan kembali menjemput dinginnya fajar.
Seiring berlalunya lelaki manis berkumis tipis itu, ada setangkai puisi diselipkan tepat di tepi halaman rumah, ah lagi-lagi terima kasih atas rasa. Ini semua tentang rasa, biarkan Maha Rasa mengatur.
Kopi pekat sedikit manis ini menjadi candu, ritual pagi tidak pernah terlewatkan, eh sepagi ini chat WhatsApp berbunyi, pesan itu kembali hadir, “Mauka’ menikah dengan kita, sumpah demi Allah,”.
Aku membalas dengan sedikit santai, ah lagi-lagi ini tentang rasa, menikah itu bukan sekadar ijab kabul lalu selesai, namun ada perjalanan panjang, harus siap kita bangun, untuk kembali menuju jalan pulang, kepada Maha Pecinta. Sanggupkah?.
Atas nama Allah engkau bersumpah, lelaki manis itu berani. Aku pun masih membalas dengan senyuman sesantai mungkin, cahaya matahari pagi memberi asupan positif. Usia semakin beranjak, namun tak pula harus memaksa senja, untuk segera muncul, sebab mentari masih berkuasa memancarkan teriknya. Jika senja sudah nampak, maka nikmatilah segala keindahannya, bersiaplah menanti fajar.
Semua akan indah pada waktunya, jika cinta tak mesti harus diungkapkan berlebih, cinta ketika dirangkai dengan kata itu bukan cinta. Pada saat yang sama momentum bahagia dari sahabat karibku, hari ini akan melangsungkan prosesi tradisi “Mappetuada,“.
Tradisi Mappetuada ini dilaksanakan setelah proses peminangan diterima, maka ritual selanjutnya dari pernikahan adat Bugis adalah Mappetuada. Mappetuada adalah sebuah acara untuk mengumumkan kabar baik dari kedua pasangan, yaitu mengenai tanggal kesepakatan untuk melangsungkan pernikahan, mahar, dan keperluan pernikahan lainnya.
Ah, lagi-lagi tentang rasa, selamat berbahagia sahabat karibku. Kakak Maya yang sepertiga gerak sosial senantiasa bersamanya. Bahagia full, engkau kini akan berjuang pada fase perjuangan yang sebenarnya, rumah cinta sesungguhnya akan kau masuki, dengan pasanganmu. Sehat selalu sayang, sampai hari akad nikah, dan seterusnya.
Akhirnya rasa itu berlabuh, aku pun pelan mendapat bisikan lembut, tepat tanggal 12-12-2021, janji suci akan terkabulkan. Tidak ada lagi kecemasan dan guyonan kala orang-orang menghakimi, kapan anda nikah?. Pertanyaan yang sebagian orang menganggapnya horor.
Teringat beberapa bulan lalu, kita bertandang ke Sumur Jodoh Pulau Karampuang Mamuju, di depan sumur itu kita saling bercanda, sesekali hening berkhidmat, entah apa yang terbesit di hati. Kakak Maya pada saat itu membasuh muka.
Yah apakah ada kaitannya dengan sumur jodoh?. Hem, wallahu a’lam bish-shawabi. Allah Swt-lah yang Maha Tahu atau lebih tahu segala sesuatu dari kita. Hanya Allah yang Maha Benar dan Pemilik Kebenaran mutlak.
Dua kata buat Kakak Maya, “Akhirnya kumenemukanmu,”.[*]