Tradisi Mappakande Rindu Masyarakat Pattae Kurma

Tradisi Mappakande Rindu Masyarakat Pattae yang ada di Kampung Kurma
Tradisi Mappakande Rindu Masyarakat Pattae yang ada di Kampung Kurma

Samar-samar  suara tadarus Al Quran  dari masjid yang berjarak tidak jauh dari kediamanku. Lantunannya berlangang khas kampung, membuat telinga menjadi nyaman mendengarnya, apa lagi setelan toaknya pas, pas di telinga, pas di bathin, kira-kira begitu.

Sahutan Kokok ayam jantan menjadi alarm alami dari sang maha pencipta untuk alam, pertanda pagi telah datang nenyongsong. Guyuran hujan semalam menyisahkan titik-titik air pada dedaunan serta meninggalkan genangan di ruas jalan tanpa rabat beton.

Dari dalam dapur terdengar suara sendok beradu dengan gelas pertanda ibu sedang menyiapkan sarapan pagi dan kopi untuk memulai aktivitas.

Aktivitas warga kampung Kurma mayoritas petani. Kala itu, warga kampung melaksanakan  kebiasaan lama nenek moyang mereka yang dijadikan sebagai wasiat antik untuk anak cucunya. Sebuah tradisi yang diyakini warga, bisa membawa keselamatan. Tradisi itu, mereka sebut Mappakande Rindu”.  

Trasdisi Mappakande Rindu merupakan kebiasaan warga Kampung Kurma memberi makan buaya yang mereka anggap sebagai saudara kembar yang ada di air. Pertemuan agama dan tradisi sangat kental terlihat di dalamnya.

Kalau kemudian mappakande rindu ataupun tradisi lain tiba pada sebuah analisis yang radikal dan tekstual, kemungkinan besar berujung pada kesimpulan yang radikal pula. cap steorotip pasti akan menjadi stempel yang melekat abadi bagi pelakunya seperti Musyrik, khurafat dan kuno.

Tapi tunggu dulu, sebelum cap itu di sematkan bagi yang masih setia melakukan ritual dan tradisi lama, alangkah baiknya kita bicara soal esensi dari ritual tersebut.

Tradisi pada hakikatnya ingin menyampaikan makna simbolik pada setiap ritualnya penyajian. Mengapa tradisi “Mappakande Rindu” menjadi sesuatu yang penting, dan wajib bagi warga kampung. Hal ini membutuhkan analisis untuk tiba pada kesimpulan yang rasional.

Sebelum tradisi ini di lakukan, warga kampung gotong royong. Kaum laki-laki mengumpulkan kayu bakar dan bambu,  sedangkan kaum perempuan membagi kelompok, ada yang mengambil keperluan dapur di kebun, kelompok lain berkumpul membersihkan beras atau “Mattappi Barra”.

Gotong royong menjadi cirri kampung ini. Konsep kesetaraan gender yang selama ini menjadi konsumsi pengetahuan akademik, secara praktek kita bisa temukan di kampong ini.

Tradisi Mappakande Rindu, semuanya di lakukan dengan bentuk swadaya. Seluruh kebutuhan dalam tradisi tersebut seperti, beras dan hewan ternak, serta bahan-bahan makanan lainya, semuanya dari dalam kampung.

Itulah yang di maksud dengan konsep kedaulatan pangan, juga menjadi  gambaran bahwa kita (petani), pernah berdaulat atas pangan meskipun akhirnya, luluh lantah oleh gempuran revolusi hijau warisan Orde baru.

Tradisi Mappakande Rindu ini sangat menghormati alam, dengan menjaga kelestariannya. Sebab, di dalam diri kita terdapat sifat alam, yaitu Tanah, Air, Api dan Angin yang menjadi sumber kehidupan.

Alasan itulah tradisi ini terus di pertahankan dan di lestarikan, ungkap papa Imma selaku pemimpin ritual mappakande rindu dengan dialek Pattae nya. Terus, dimana letak perseteruan agama dan tradisi?. Perseteruan terjadi ketika tradisi hadir sebagai wujud nyata islam rahmatanlilalamin.

Dalam eskalasi pertarungan perebutan sumber daya alam, orang menyebutnya gempuran kapitalisme, kerangkanya adalah eksploitasi Alam. Maka disinilah tradisi hadir sebagai perangkat aktif dan massif untuk melawanya. sebab eksistensi tradisi bergantung kepada alam, ketika alam di rusak dan di rampas, maka tradisi juga ikut rusak. 

Sebelum mengatakan mereka musyrik, sesungguhnya yang mengatakan itulah yang telah membelok dari agama karena sudah menuduh hamba Allah yang sedang merawat ciptaan-Nya. (pattae.com)

Penulis: Yunita Kurma*