PATTAE.com | Dara’- Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan memiliki suku dan bahasa daerah terbanyak di dunia. Salah satunya berada di Kabupaten Polewali Mandar (Pol-Man), Provinsi Sulawesi Barat (Sul-Bar). Dengan letak geografis kependudukan masyarakat Pol-Man, ada yang bermukim di daerah pegunungan, dan ada pula yang bermukiman di sekitar pesisir Pantai.
Pol-Man sendiri dikenal memiliki banyak suku dengan beragam macam bahasa, adat istiadat, dan ritual-ritual yang berbeda-beda, sebut saja diantaranya adalah Etnis Pattae’.
Suku/Etnis Pattae’ memiliki bahasa dan adat yang lain dari pada Etnis lain yang ada di Polewali Mandar. dalam masyarakat Pattae’, khusunya yang bertempat tinggal di daerah Dara, memiliki adat atau kebiasan turun-temurun dari nenek moyang mereka, yaitu adat ritual “Lao ma’doda, Lao mappakande”
“Lao ma’doda”, atau “Lao ma’pakande” adalah merupakan tradisi masyarakat etnis pattae’ yang ada di Dara’, dengan beranjak ke tepi sungai membawa seserahan makanan, dimana sungai tersebut, diyakinin sebagai tempat jelmaan Nenek Moyang etnis pattae’ berada.
Jelmaan yang diyakini sebagai nenek moyang masyarakat Pattae’ yang ada di wilayah Dara’, adalah se ekor ikan yang masyarakat sekitar menyebutnya “Bale Salo'” (Ikan Gabus). Masyarakat pattae pantang memakan, atau membunuh ikan gabus, di karenakan ikan tersebut diyakini sebagai jelmaan Nene’ (Nenek moyang) dari masyarakat Pattae’ yang tinggal di Dara’.
menurut ,Liati, salah seorang warga Dara’ yang di temui pattae.com menceritakan kisah adanya ritual Lao ma’doda, Lao ma’pakande itu muncul disebabkan adanya perjanjian antara Ikan Gabus (Bale Salo) dengan nenek moyang masyarakat Pattae’. perjanjian ini terjadi setelah nenek moyang etnis pattae’ di Dara’ diselamatkan oleh se ekor Bale Salo’ pada masa lampau
“sejarah Ritual Lao ma’doda lao mappa kande dulunya merupakan suatu perjanjiaan antara Bale Salo’ (Ikan Gabus) dengan nenek moyang masyarakat Patte’ yang ada di dara, dikala itu, nenek moyang masyarakat pattae’ di Dara hanyut terbawa arus sungai yang deras ketika banjir datang saat hendak menyebrang, pada saat itu juga, datang segerombolan Bale salo (Ikan Gabus) menolong sang nenek tadi dan membawanya ketepian, disitulah terjadi perjanjian nenek moyang masyarakat pattae’ di Dara dengan Bale salo” cerita, Liati, saat dijumpai pattae.com di rumahnya, Jumat, 28/04/2017
“Sang nenek mengatakan, aku dan keturunanku nanti tidak akan memakanmu, Pantangan besar untuk memakanmu tetapi aku dan keturunanku yang akan memberimu makan” lanjut, Liati Bercerita
Sungai yang sering dikunjungi, dan dijadikan sebagai tempat ritual Ma’doda dan Ma’pakande adalah sungai Mombi’ yang ada di Dara’, yang berjarak kurang lebih 2 Kilo Meter dari jalan poros Mamasa.
Acara ritual adat “Lao Ma’doda Lao Mappakande” dilakukan bila ada dari masyarakat Pattae’ yang tinggal di Dara memiliki Hajat atau dalam masyarakat Pattae’ menyebutnya Tinja’. Misalnya, jika salah seorang masyarakat Pattae’ yang tinggal di Dara jatuh sakit, lalu dia bertinja’ atau ber-Hajat, bila dia nantinya sembuh, dia akan pergi ma’ doda atau mappakande memberi makanan berupa Banno Resa’ (padi yang di sangrai sehingga mengembang) yang di letakkan diatas daun, Lammang (Lemang), biasanya juga menyembeli ayam kemudian disantap bersama.
Ritual Lao Ma’doda Lao Mappakande tersebut, sampai sekarang ini masih di laksanakan, dijaga dan di lestarikan oleh masyarakat pattae’ yang ada di Dara’. (kontributor/Ahmad Falihin)*