Bonus Perjalanan Meneguk Lokalitas Cakkuriri Sendana

Penulis berkunjung ke rumah salah satu toko adat yang menyimpan benda peninggalan adat budaya Mandar di Majene
Penulis berkunjung ke rumah salah satu toko adat yang menyimpan benda peninggalan adat budaya Mandar di Majene

Cakkuriri – MAJENE | Pesta pernikahan dua sahabat rasa saudara, membuat aku harus mengatur jadwal. Sontak dilema menyerang, sebab hari tanggal dan bulan sama persis. Sabtu tanggal 8 agustus 2020.

Apakah mungkin aku mampu berada di dua tempat yang berbeda, di waktu bersamaan? Ah, andai saja aku sakti. 

Aku segera bergegas menuju acara nikahan sahabat, yang berdomisili di Polman. Sebab, habis dari acara nikahan tersebut, segera tancap gas acara nikahan pula, menuju Majene, tepatnya di Dusun Salutambung, Desa Ulumanda, Kecamatan Malunda, Kabupaten Majene. 

Aku lebih memilih berpakaian jeans, sebab memakai gaun pesta, membuat perjalanan kurang nyaman, sehabis menghadiri pesta di Polman jam 15.00 Wita, segera aku berkemas-kemas menuju Kabupaten Majene. 

Kuda besiku atau akrab kusapa kuda orens (motor berwarna orens), harus barter sementara, sebab tenaganya sudah tak mampu menjangkau perjalanan luar kota. 

Kawanku Desi Ratnasari pun menawarkan, “Kak nanti saya yang temani kakak ke acara sahabatnya yang di Malunda, “.

Bagaikan terencana sesegera mungkin, Desi kawan ku ini mengajak menukar kuda orensku, dengan motor salah satu kawan. 

Memilih kuda besi kuat tentunya, kebetulan kuda besi, milik kawanku ini khusus medan-medan jauh dan ekstrim. Ah lega rasanya, dapat partner jalan, dan solusi kendaraan roda dua.

Menyiapkan perjalanan jauh, untuk target sehari semalam, tidak membuat ribet, cukup persiapkan satu pasang pakaian ganti. 

Aku meminta ijin di rumah, untuk rute keluar kota. Yah tradisi ku, harus minta ijin dulu, dan berangkatnya harus di mulai dari rumah. 

Berniat dan membayangkan sampai ketempat tujuan, sebelum berangkat. “Lattu’ meman tau simula mittekka” (Tiba sebelum berangkat).

Ku cium tangan ibu dan cipika-cipiki (cium pipi kanan, cium pipi kiri). Aliran kecupan restu do’a dari Ibu, mengiringi perjalanan. 

Senjata pamungkas pun tak lupa kami kenakan dan bawa, untuk menangkal si corona, ada masker, hand sanitizer, plus vitamin. 

Selepas sholat magrib aku dan kawanku start menuju Majene. Setengah perjalanan kami diskusi santai, “Desi kita nginap di rumah kawanku dulu ya rehat, esok pagi baru kita tancap ke Malunda. Sebab perjalanan lumayan jauh,” ungkapku, sembari memainkan stir motor. Yah gas tipis-tipis dulu, sebentar baru ngegas full

“Oiya kak, saya punya kawan juga, di Sendana, ini saya telfon dulu ya,” Desi begitu semangat menawarkan rumah kawannya, segera dipencet ombol HP, dan komunikasi dengan kawannya. 

“Kak deal, kita di rumah kawanku saja, kakak Aqsa ini kebetulan Mahasiswa Unsulbar, pernah KKN di Kampungku,” Desi pun begitu antusias. 

Aku pun ngegas full, ah knalpot motor nyaring bergemuruh, kata anak muda di kampungku, knalpot bogar, ledakan bunyinya meletup-letup. Ah, adrenalin pun terpacu untuk ngegas, mau pandangi barometer kilometer ternyata tak ada, yah ngontrolnya pakai hati saja. 

Kurang lebih 3 jam kami tiba di Sendana, tepat di depan polres Sendana, Desi pun segera menelfon temannya, untuk mengabarkan bahwa kami sudah siap di jemput. 

Tidak lama kemudiaan kawan Desi tiba, dan kami pun mengikuti, lumayan rumahnya dekat dari jalan poros, namun masuk lorong sedikit. 

Sambutan hangat tuan rumah, mengawali perkenalan santai, hem pandemi Covid-19 pun, tak lepas dari obrolan malam, sembari meneguk teh hangat campuran jeruk nipis, hem tuan rumah begitu welcome, sampai suguhan teh hangatnya buat raga kami lelah dan dingin terobati. 

Malam pun semakin melebur dalam lelah, kornea mata mengatup, di kediaman kawan Herli Aqsa, Jalan Tembang No 30 D. Lakkading, Desa Limbua, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene. 

Terik matahari pun begitu memanjakan mata, di teras rumah menyeduh kopi, diselingi  sarapan pagi, aku bertanya “Aqsa di Sendana ini selain ikan tuing-tuing, icon apa lagi ya?,” 

“Ada Cakkuriri kak, “ balas Aqsa. Wow semangat terpacu, hangat-hangat segelas kopi aku seduh, pikiran pun liar setelah mendengar kata Cakkuriri. 

Aku pernah disuguhi ajakan agenda pesona Cakkuriri, pernah salah satu kawan pegiat literasi mengajak, namun tak kesampaian. 

Sepintas pula pernah aku melihat, buku-buku yang bertuliskan Cakkuriri, tapi tidak sempat berselancar, di tiap-tiap lorong isi buku itu. 

Nah, ini Aqsa menyebut lagi Cakkuriri, rasa penasaran pun melebur dalam  seduhan kopiku, hingga secangkir ludes menyisahkan ampas kopi. 

Waktu sudah menunjukan angka 08.00 Wita, segera kami bergegas,untuk melanjutkan rute perjalanan ke Malunda, sesuai tujuan awal menghadiri acara pernikahan. Yah lumayan kurang lebih satu jam. 

Rasa penasaran tentang Cakkuriri semakin memenuhi benakku. Ku bisik kuping kawanku “Desi, coba sampaikan ke Aqsa. Bisa tidak kita diantar ke lokasi Cakkuriri sekadar silaturahmi, habis dari Malunda. Yah coba-coba saja siapa tau kita mujur”.

Desi pun sigap langsung menyampaikan ke Aqsa. Tak lama kemudiaan ibu Aqsa mendengar, dan turut memberikan sugesti positif, ” Insya Allah Nak’ u mua napuelo Puang Allah Ta’ala, kalian akan bisa sampai ke Cakkuriri untuk silaturahmi,” Balas Ibu Aqsa. 

Kami pun segera pamit dan bergeser ke Malunda, sebab agenda selanjutnya trip ke lokasi Cakkurirri di Desa Putta’da

Cakkuriri
Penulis bersama para tokoh adat Desa Putta’da

Sesampai di kediaman sahabatku, kurang lebih setengah jam kami bercerita, dan saling melepas rindu, do’a kepada kedua mempelai haturkan dengan penuh cinta. 

Rasa bahagia mengalir dalam pelukan, selamat sayang, mengarungi kehidupan baru, disela akhir pelukan mempelai perempuan membisikku “Kak, saya yakin tentang jodoh, Allah SWT mempertemukanku, dan saya tidak menyangka sama sekali kalau dia lah imam ku,” kecupan pipi bahagia mendarat di pipiku. Kami pun pamit dan bergeser kembali ke Sendana. 

Setiba kembali di kediaman Aqsa di Sendana, nampak pisang manurung dan kemenyan siap, sebagai media yang harus disiapkan untuk bertamu di tempat Cakkuriri

Selepas sholat Dzuhur, kami berempat ada Desi, Aqsa, dan Citra, segera kami ekspedisi menuju lokasi Cakkuriri. 

Tokoh yang pertama kami temui adalah bapak Sahabuddin, beliau ini salah satu tokoh adat di Desa Putta’da, untuk menuju ke kediaman, yang menyimpan pusaka harus melalui beliau sebagai juru kunci. 

Beliau menekankan, bahwa pusaka-pusaka tersebut tidak bisa disentuh, sebab ada acara sakral tertentu, termaksud membuka bendera Cakkuriri, harus ada ritual adat dan pemotongan kerbau. Namun, untuk melihatnya boleh. Tapi tidak bisa memegang. 

Kami pun mengikuti segala tata aturan, yang disampaikan oleh tokoh adat. Segeralah kami menuju kediaman tokoh adat selanjutnya, tempat di mana benda pusaka tersebut di simpan. 

Setelah tiba dan menyerahkan pisang manurung yang kami bawa, dan kemenyan, tak lama kemudian tokoh adat memanggil kami, masuk ke sebuah bilik kamar. Di atas ranjang benda-benda pusaka itu diletakkan. 

Ada dua gendang, konon jika upacara adat, gendang tersebut dibunyikan. Ada bendera Cakkuriri dibalut wadah dan dibungkus. Kami hanya bisa memandanginya, dan tak lama kemudiaan pusaka I Po’ga, sejenis pedang, tokoh adat membolehkan kami memegangnya. 

Sungguh diluar dugaan, kami mendapat restu memegang benda pusaka I Po’ga, dan tokoh adat membolehkan kami mengambil gambar. 

Konon ceritanya, jika I Po’ga ini retak sedikit, berati pertanda akan ada bencana di kampung. Bendera Cakkuriri pun di kibarkan oleh tokoh-tokoh adat dibungkus dalam upacara adat, dilaksanakan empat kali dalam setahun. Pelaksanaannya di bukit Sendana. 

Syarat wajibnya adalah pemotongan kerbau jenis camara, jenis tedong/kerbau dari Tanah Toraja. Sepintas aku mendengar bahwa histori Cakkuriri ini, tidak terlepas  pula dari Masyarakat adat Toraja. 

Namun, penulis tidak menggali lebih jauh lagi, sebab ada beberapa versi yang lahir, dimana Cakkuriri ini ada yang mengisahkan sebagai konsep To Manurung. Ada pula yang mengisahkan Cakkuriri ini adalah bendera. 

Konon ceritanya, pelaksanaan upacara dihadiri oleh Pappuangan dan pemerintah setempat juga hadir. Jadi pelaksana upacara adalah tokoh-tokoh adat, termaksud pengibaran bendera Cakkuriri. Satu rangkaian pula, sebagai rentetan acara ini adalah siarah makam To Mesaraung Bulawang. Saat acara adat dapat disaksikan publik.

Mengenai sosok To Mesaraung Bulawang, masih memberikan rasa penasaran di hati penulis, Pak Sahabuddin mengatakan “To Mesaraung Bulawang ini adalah sosok perempuan,”.

Semesta mendukung kami bisa berjejak, meneguk sejarah, pada jejak-jejak leluhur Cakkuriri. Sungguh di nusantara ini, kita kaya akan budaya dan adat lokalitas. 

Trip berfaedah disela kondangan sahabat, dipertemukan dengan kawan baru, dan tetua-tetua kampung. Semoga di acara adat Cakkuriri, konon bulan 9 tahun 2020 ini bisa dilaksanakan, dan penulis bisa lebih banyak lagi belajar dan membaca kearifan lokal di Desa Putta’da.

Penulis: Blantara*